Suara.com - Keluarga toksik adalah keluarga yang umumnya melakukan tindakan mengontrol secara berlebihan kepada anak atau sanak famili lain.
Dalam keluarga toksik, anggota keluarga biasa mendapat hinaan, seperti anak yang dibandingkan dengan anak orang lain. Padahal tindakan ini dapat membuat mental anak hancur.
Dikatakan oleh Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa, dr. Almee Nugroho, SpKJ, ada beberapa tanda keluarga beracun atau keluarga toksik.
Tanda keluarga toksik yang pertama adalah anggota keluarga merasa lebih buruk saat hadir di hadapan keluarga.
Baca Juga: Bansos PKH Juli: Kriteria, Besaran, dan Cara Cek Daftar Penerima
"Kalau sampai ada anggota keluarga yang berkumpul dan Anda merasa lebih buruk, hati-hati apakah ini keluarga toksik? Tentu Anda yang bisa menjawabnya," ungkapnya pada acara The Rise of Toxic Family During Pandemic, beberapa waktu lalu.
Kedua, ciri keluarga toksik adalah mengontrol hidup anak hingga anak jadi tidak bisa mengambil keputusan maupun mencoba kesempatan untuk tujuan hidupnya.
"Misalnya kuliah jurusan apa, itu juga ditentukan oleh orang tuanya. Kebetulan saya beli asinan di suatu toko, di dalam toko itu bapak sama anaknya lagi bertengkar karena anaknya mau kerja di bank."
"Bahkan sudah mendaftar dan sudah diterima, tapi bapaknya tidak diperbolehkan. Jadi kasihan anaknya cuma diam aja," ungkapnya lebih lanjut.
Ketiga, ada anggota keluarga yang sering mengkritik anggota keluarga lainnya. Oknum keluarga juga bisa melakukan tindakan lain seperti melakukan kekerasan secara fisik, verbal, emosi, dan juga seksual.
Baca Juga: Menyantap Hidangan Tradisional dengan Pemandangan Alam di Pawon Jinawi
"Tanda yang lainnya pelaku sangat membutuhkan Anda, tapi jika menolak keluarga akan melakukan playing victim. Jadi itu membuat diri merasa bersalah, dan seolah-olah yang salah adalah kita bukan keluarga," jelasnya.
"Atau misalnya contoh kasus lain yang pernah saya dapat di mana ibu dan ayahnya bertengkar warisan, bahkan sampai urus ke kepolisian. Tapi yang disuruh menghadapi om dan tantenya itu malah anaknya, dan anaknya itu nggak mau ikut soal warisan, tapi dipaksa untuk ikut dan membantu," pungkasnya.