Suara.com - Memiliki keluarga toksik atau beracun bisa berdampak bagi kesehatan mental anak di kemudian hari. Anak berisiko akan mengalami rasa percaya diri yang kurang, perasaan insecure, dan rendah diri.
Pada akhirnya, memiliki hubungan keluarga yang beracun dapat membentuk anak kesulitan menjalani kehidupannya di masa depan.
Dikatakan oleh Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa, dr. Almee Nugroho, ada perbedaan mendasar memiliki keluarga yang sehat dengan keluarga yang toksik.
Saat memiliki keluarga yang sehat secara mental, anak akan memiliki komunikasi dua arah dan terbuka.
Baca Juga: Jaga Mentalnya, Ini 7 Tanda Anak Alami Stres Karena Pandemi Covid-19
"Bisa dari orangtua ke anak, suami bisa ke istri, dan sebaliknya. Tapi kalau keluarga yang tidak sehat memiliki komunikasi yang satu arah. Jadi bisa dari pelaku kekerasan ke korban, di mana ayahnya yang keras kepada anak, sehingga tidak memiliki kesempatan berbicara tentang pilihan hidupnya,” ungkapnya pada acara The Rise of Toxic Family During Pandemic, Jumat (2/7/2021).
Saat anak berada di keluarga beracun, anak akan cenderung mendapat hinaan saat mereka mencoba melakukan sesuatu.
Hal itu berbeda dengan anak yang muncul dari keluarga sehat, yang umumnya akan mendapat dukungan, support, dan keluarga akan lebih bersikap fleksibel daat anak mencoba sesuatu yang baik.
Keluarga yang tidak sehat juga cenderung lebih kaku, sehingga umumnya apa yang diinginkan sang anak tidak diperbolehkan oleh orangtuanya.
“Ada pasien saya yang ingin les menari, di mana kegiatan ini positif tapi dilarang oleh orang tuanya. Katanya tidak sesuai ajaran agama, sehingga sang anak seolah-olah salah. Padahal kalau dilihat, menari itu tidak negatif. Justru itu positif," ungkapnya lebih lanjut.
Baca Juga: 4 Tips Menjaga Diri Saat Isolasi Mandiri di Masa Pandemi Covid-19
Selain tidak mendukung anak, keluarga yang toksik juga umumnya lebih banyak menuntut anak. Ia membagikan cerita tentang pasiennya yang baru bekerja dengan penghasilan UMR namun semua gajinya, harus diberikan kepada keluarga.
“Setiap bulan sang anak harus menyerahkan gajinya, padahal anaknya ini punya kebutuhan pribadi. Tapi dituntut oleh orang tuanya untuk selalu kasih uang bulanan. Jadi ini termasuk keluarga yang demanding,” pungkasnya.