Suara.com - Orang yang suka berbicara omong kosong memang biasanya menyebalkan. Namun orang-orang ini ternyata ditemukan cenderung lebih memiliki kemampuan kognitif yang baik dan cerdas.
Melansir dari Psypost, studi yang diterbitkan pada jurnal Volutionary Psychology menunjukkan bahwa orang yang pandai mengarang cerita dikaitkan dengan kecerdasan.
Omong kosong bukan sekadar kebohongan tapi kata-kata yang sebenarnya tidak perlu. Seseorang harus memiliki kemampuan untuk menghasilkan omong kosong mereka sendiri.
Dalam penelitian ini, para peneliti peneliti merekrut 1.017 peserta untuk dua penelitian yang meneliti kemampuan kognitif, kesediaan untuk omong kosong, dan kemampuan membuat omong kosong.
Baca Juga: Menlu Jerman Ingatkan Soal Perlombaan Senjata Berbasis Kecerdasan Buatan
Untuk mengukur kesediaan untuk omong kosong, para peserta ditunjukkan sepuluh konsep dan diminta untuk menilai pengetahuan mereka tentang setiap konsep pada skala 5 poin.
Mereka yang mengaku memiliki pengetahuan tentang konsep palsu dianggap memiliki kemauan yang lebih besar untuk omong kosong.
Para peneliti menemukan bahwa peserta yang lebih mampu menghasilkan penjelasan yang tampaknya memuaskan dan akurat dari konsep-konsep palsu cenderung juga memiliki skor lebih tinggi pada tes kosa kata, serta ukuran penalaran abstrak dan kecerdasan non-verbal.
"Kemampuan membuat omong kosong seseorang secara positif terkait dengan seberapa pintar mereka kelihatannya dan seberapa pintar mereka dalam kenyataanya," kata penulis studi Mane Kara-Yakoubian kepada PsyPost.
"Omong kosong itu mungkin telah muncul sebagai strategi murah yang energetik untuk mendapatkan prestise, status, atau barang di domain di mana keberhasilan ditentukan oleh evaluasi subyektif orang lain seperti seni rupa, politik, berbicara di depan umum, dan lain-lain," imbuhnya.
Baca Juga: Best 5 Oto: Stellantis Sematkan Kecerdasan Buatan, Nabila Putri Motoran Camori
Peneliti menegaskan bahwa kemampuan beromong kosong semakin tinggi pada individu yang lebih cerdas. Hal ini mungkin dijelaskan oleh kapasitas mereka yang lebih besar untuk mengaitkan kondisi mental kepada orang lain. Mereka lebih sadar ketika omong kosong akan bekerja dan kapan tidak.
"Penelitian di masa depan mungkin perlu mengeksplorasi hubungan antara omong kosong serta faktor kepribadian," pungkas Yakoubian.