Suara.com - Harga yang murah dan mudahnya akses membeli rokok menjadi salah satu faktor tingginya angka perokok di Indonesia.
Berdasarkan data International Health Metric Evaluation (IHME) 2017, Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka kematian akibat paparan rokok tertinggi, termasuk kematian akibat penyakit jantung dan berbagai jenis kanker.
Data klaim BPJS Kesehatan juga menyebut penyakit akibat rokok seperti penyakit jantung menempati urutan pertama dengan menghabiskan biaya sebesar 10,6 triliun dan kanker sebesar 3,4 triliun pada 2018 lalu.
Hasil survei dari Pusat Kajian Jaminan Sosial, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (PKJS-UI) menunjukan, di Jakarta saja ada 8.371 warung rokok eceran, terbanyak berada di wilayah Jakarta Timur (3.085 warung rokok) dan Jakarta Barat (2.139 warung rokok).
Baca Juga: Catat Nih! Jual Rokok di Bogor Sama Anak Di Bawah Umur Bakal Dapat Sanksi
Apabila dibandingkan dengan luas wilayah, secara rata-rata terdapat kurang lebih 15 warung rokok eceran setiap satu kilometer persegi di DKI Jakarta.
Sementara dibandingkan dengan jumlah penduduk, didapati terdapat satu warung rokok eceran setiap 1.000 penduduk di DKI Jakarta.
Warung rokok eceran juga berada dekat area sekolah. Hasil survei menemukan di dekat lokasi sekolah, dari mulai tingkat SD hingga SMA/SMK, ditemukan sedikitnya 8 warung rokok eceran di setiap area sekitar sekolah di DKI Jakarta.
Sebanyak 61,2 persen warung rokok berlokasi kurang dari 100 meter dari area sekolah.
Ketua Peneliti Risky Kusuma Hartono mengatakan, sebagian besar warung memiliki media promosi rokok berupa banner atau spanduk sebanyak 80,7 persen. Bahkan dikatakan, sebesar 11,3 persen warung pernah melakukan promosi rokok eceran berupa gratis produk lain.
Baca Juga: Revisi PP 109 Ancam Pendapatan Pekerja Tembakau
"Selain itu, terdapat 58,1 persen warung memperbolehkan konsumen untuk membeli rokok eceran secara berhutang," paparnya dalam keterangan tertulis yang dibagikan kepada suara.com, Kamis (17/6/2021).
Hasil survei juga menemukan bahwa rokok menempati produk penjualan tertinggi dibandingkan dengan komoditas lainnya seperti sembako maupun jajanan. Sedangkan dari sisi harga, rata-rata penjualan rokok secara batangan termasuk dalam kategori murah, yaitu Rp 1.500 per batang.
"Opsi kebijakan restriksi yang paling banyak didukung oleh penjual untuk berniat berhenti menjual rokok, yaitu larangan menjual rokok di lingkungan perumahan atau zoning di sekitar area sekolah (37,1 persen), disusul dengan penjual rokok harus memiliki lisensi (17,7 persen)," imbuh Risky.
Dalam rangka mengendalikan kemudahan dan keterjangkauan pembelian rokok kepada anak, PKJS-UI merekomendasikan agar dibuat aturan larangan warung rokok eceran yang mudah diakses, termasuk oleh anak.
Kementerian Kesehatan diminta mendukung opsi pelarangan penjualan rokok secara batangan itu melalui revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga dinilai perlu mendorong pihak sekolah untuk melakukan pengawasan kepada siswa agar tidak merokok dan lebih sering lakukan promosi kesehatan mengenai bahaya merokok.
Di sisi lain, ia mengatakan bagaimaan efektivitas kenaikan harga minimum rokok pada kebijakan cukai tidak akan optimal jika penjualan rokok batangan yang sangat terjangkau, masih diperbolehkan.
"Pemerintah perlu menaikkan harga rokok melalui kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT), kenaikan harga jual eceran dan simplifikasi strata tarif CHT untuk menekan keterjangkauan pembelian rokok terutama kepada anak usia sekolah," tutur Risky.