Kisah Diskriminasi Penyintas Tuberkulosis: Dipaksa Melahirkan di Ruang Isolasi

Selasa, 15 Juni 2021 | 08:39 WIB
Kisah Diskriminasi Penyintas Tuberkulosis: Dipaksa Melahirkan di Ruang Isolasi
Ilustrasi diskriminasi perempuan [shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Diskriminasi dan stigma terhadap pasien penyakit tuberkolusis alias TB masih ditemukan di Indonesia.

Ani Herna Sari, seorang penyintas tuberkolusis asal Surabaya, menceritakan bagaimana dirinya mendapat diskriminasi dari tenaga kesehatan saat akan melakukan proses persalinan. Ia tidak mendapat ruang ganti untuk menukar pakaian sebelum operasi caesar.

"Bayangkan di ruangan tersebut, dan posisi Anda sedang mempersiapkan kelahiran anak pertama. Dan saat Anda di dalam, diminta untuk berganti baju bahkan setiap mata bisa memandang Anda. Itu yang saya alami saat menjalani resistensi obat, di mana saya sedang hamil,” ceritanya pada acara 'Stigma TBC dan Hambatan Lainnya', Senin (14/6/2021).

Ani mengatakan diskriminasi yang terjadi bukan cuma tidak mendapat ruang ganti. Ia menceritakan bahwa dirinya tidak diperkenankan untuk melakukan operasi caesar di ruang bersalin, melainkan di ruang isolasi khusus penyakit paru-paru.

Baca Juga: Stigma dan Diskriminasi Hambat Indonesia Bebas Tuberkulosis 2030

Padahal berdasarkan rekam medis, tercatat bahwa Ani sudah menjalani pengobatan TB secara tuntas dan tidak lagi bisa menularkan penyakit.

"Dan saya sudah konversi pada bulan pertama, dan kalau sudah konversi kita sudah tidak menularkan lagi. Selain itu saya juga tidak ditempatkan di ruang bersalin, tetapi di ruang paru-paru. Mereka tidak melihat proses operasi sesar yang saya jalani, tapi memeriksa TB saya,” ceritanya lebih lanjut.

Saat bayi sudah lahir, Ani Herna menceritakan bahwa anaknya harus minum susu formula dari botol. SEhingga, saat memberikan susu kepala anaknya harus dimiringkan secara terus menerus.

Hal ini menurut Ani membuat kepala anaknya tidak rata. Tak hanya itu, dirinya menceritakan bahwa anaknya pernah mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi.

"Mungkin karena saya mengidap TB, bahkan anak saya berat badan di awal 2,4 kilogram. Dan waktu keluar dari rumah sakit hanya 1,9 kilogram. Butuh waktu lebih tiga tahun untuk mengetahui kepala rata anak saya itu bisa kembali. Hati orang tua mana yang sanggup memikirkan anaknya punya kelainan?” ujarnya.

Baca Juga: ASTON Priority Simatupang Hotel Sabet Penghargaan Travelers Choice 2021 di Tripadvisor

Ani Herna juga menceritakan bahwa masyarakat belum mengetahui penyakit TB. Walaupun akses dan pengobatan sudah ada.

"Pasien tidak mengetahui apa itu TB, dan mereka baru mengetahui setelah menjalani pengobatan. Akses obatnya ada, tapi dari masyarakatnya belum tahu,” pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI