Suara.com - Sudah banyak yang tau bahwa konsumsi makanan berbasis nabati dan menghindari lemak bisa menyehatkan. Namun mana yang lebih baik antara pola makan rendah lemak dan pola makan nabati?
Melansir dari Medical Xpress, pola makan kaya makanan nabati dapat mengalahkan pola makan rendah lemak dalam rangka mengurangi risiko penyakit jantung dan stroke. Hal ini disebabkan karena lemak jenuh, jenis yang banyak ditemukan dalam produk hewani bisa menjadi musuh jantung karena dapat meningkatkan kolesterol LDL jahat.
Dalam studi baru yang melacak lebih dari 5.100 orang Amerika, para peneliti menemukan bahwa orang dengan pola rendah lemak jenuh memang memiliki kadar LDL yang lebih baik. Tapi tidak menurunkan risiko penyakit jantung atau stroke.
Di sisi lain, orang yang mengonsumsi banyak makanan nabati seperti sayuran, buah-buahan, biji-bijian, kacang-kacangan, dan biji-bijian memiliki risiko lebih rendah mengalami masalah kardiovaskular.
Baca Juga: Cegah Tumor Otak, Yuk Perhatikan 3 Pola Hidup Penting Berikut Ini
"Berfokus pada lemak jenuh dapat melewatkan banyak aspek kualitas diet," kata penulis studi Yuni Choi, seorang rekan postdoctoral di University of Minnesota.
Choi akan mempresentasikan temuannya pada pertemuan tahunan American Society for Nutrition yang diadakan online. Studi yang dirilis pada pertemuan umumnya dianggap pendahuluan sampai diterbitkan dalam jurnal peer-review.
Hasilnya penelitian ini berasal dari studi jangka panjang tentang kesehatan jantung yang merekrut orang dewasa muda Amerika Serikat pada 1980-an. Selama 32 tahun, 135 peserta mengembangkan penyakit jantung koroner di mana ada plak yang menumpuk di arteri dan memperlambat aliran darah ke jantung.
Secara keseluruhan, baik penggemar sayuran dan mereka yang menghindari lemak jenuh memiliki kolesterol LDL yang lebih rendah. Tetapi hanya pola makan kaya nabati yang dikaitkan dengan risiko penyakit jantung dan stroke yang lebih rendah.
"Cobalah mengisi 70 persen hingga 80 persen piring Anda dengan sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian dan sejenisnya," kata peneliti senior David Jacobs, seorang profesor kesehatan masyarakat di University of Minnesota.
Baca Juga: Waspada! Inilah 4 Jenis Gangguan Mental yang Jarang Diketahui