Suara.com - Pandemi Covid-19 tidak hanya membawa dampak buruk bagi sistem kesehatan. Sejumlah masalah turunan pun terjadi, salah satunya adalah meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menyatakan bahwa pihaknya saat ini tengah gelisah lantaran memuncaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi.
"Setiap pagi saya mendapatkan informasi, tidak ada hari tanpa kasus kekerasan dan kasus kekerasannya juga terjadi tidak masuk di logika. Dampak pandemi Covid-19, banyak yang justru dilakukan oleh orang-orang terdekat. Ini menjadi pekerjaan rumah bersama,” kata Menteri Bintang melalui keterangan tertulisnya, Selasa (8/6/2021).
Oleh sebab itu, hari ini pihaknya melakukan pertemuan dengan sejumlah perwakilan lembaga masyarakat untuk berkoordinasi terkait penanganan isu kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.
Baca Juga: Menteri PPPA: Kesetaraan Gender di Indonesia Masih Belum Sepenuhnya Tercapai
Hal ini dilakukan guna menguatkan upaya untuk mengatasi dan mengantisipasi kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan menggandeng para stakeholder.
"Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) saat ini telah menyediakan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan dan anak yang memerlukan perlindungan khusus. Dalam pelaksanaannya, tentu memerlukan sinergi dan peran berbagai pihak, termasuk lembaga masyarakat yang selama ini telah terjun langsung dalam upaya tersebut,” ujarnya.
Menteri Bintang menjelaskan pemerintah melalui Kemen PPPA pada 2021 telah menyalurkan Dana Alokasi Khusus (DAK) non fisik khusus kepada daerah. Menteri Bintang berharap bantuan tersebut dapat mengoptimalkan penanganan dan pendampingan korban, serta kasus-kasus terkait perempuan dan anak.
Tidak hanya fokus pada penanganan kasus, Menteri Bintang juga berharap agar pemerintah, pemerintah daerah, organisasi, dan lembaga masyarakat juga dapat fokus pada penguatan pencegahan.
"Kita harus bersama-sama melakukan langkah-langkah penanganan, tapi dari hulunya juga kita harus lakukan pencegahan isu-isu kekerasan secara komprehensif. Kemen PPPA tidak bisa melakukannya sendiri, sinergi, kolaborasi, dan diskusi diperlukan untuk bisa mencari praktik baik yang dapat dilakukan. Kita harus bergandengan tangan untuk menyelesaikan kasus-kasus ini sebagai salah satu dampak dari pandemi,” katanya.
Baca Juga: Menteri Bintang Bocorkan PR Besar Pemberdayaan Perempuan Indonesia
Menteri Bintang berharap agar media tidak hanya fokus melaporkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, tetapi juga edukasi langkah-langkah preventif bagi masyarakat terutama keluarga dan mengangkat prestasi-prestasi anak bangsa.
Dalam pertemuan tersebut, hadir diantaranya Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ketua lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi, Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), Andik Matulessy, LBH APIK, Ratna Batara Murti, Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel, Advokat, Sri Nurherawati, ECPAT Indonesia, P2TP2A DKI Jakarta, Margaretha Hanita, dan Save The Children, Andri Yoga Utami.
Ketua LPAI, Seto Mulyadi atau akrab disapa Kak Seto dalam pertemuan tersebut mengusulkan beberapa rekomendasi. Salah satunya tentang perlunya pertemuan tatap muka dan dialog antara Kemen PPPA, khususnya Menteri Bintang dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim guna membahas tentang sekolah daring dan rencana sekolah tatap muka.
"Kekerasan terhadap anak atas nama pendidikan selama pandemi ini cukup memprihatinkan. Laporan yang kami dapatkan, 13 persen anak depresi belajar daring. Ada juga mengalami sakit mata akibat menatap layar terlalu lama. Peran serta Kemen PPPA juga perlu untuk berdialog dengan Kemendikbud agar hak hidup dan berkembang anak bisa dilakukan dan kesehatan anak diutamakan,” jelas Kak Seto.
Sepakat dengan pernyataan Menteri Bintang, Pengurus LBH APIK, Ratna Batara Murti mendukung penguatan peran dan upaya pencegahan kekerasan.
"Hingga saat ini pencegahan masih belum maksimal dan berjalan sesuai yang diharapkan. Selain itu, upaya penegakan hukum dan pemulihan korban juga harus terus dimaksimalkan. Oleh karena itu, kami mendorong agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) juga segera disahkan,” ujar Ratna.
Sementara itu, perwakilan P2TP2A DKI Jakarta, Margaretha Hanita menyambut baik adanya layanan rujukan akhir Kemen PPPA bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Ia berharap agar layanan ini dapat segera berjalan dengan maksimal karena sangat diperlukan dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
"Selama ini banyak kasus yang cukup berat dan serius yang terkadang di luar kapasitas kami untuk mengawal dan menyelesaikan kasus. Kami juga berharap layanan rujukan akhir Kemen PPPA ini bisa beroperasional dan punya kualifikasi pendamping yang berstandar internasional,” ujar Margaretha.