Suara.com - Meski prevalensi stunting cenderung menurun, namun Indonesia masih menempati urutan kedelapan dari 10 negara ASEAN dengan angka stunting tertinggi.
Stunting sendiri merupakan keadaan anak gagal tumbuh karena kekurangan gizi kronis selama 1000 hari pertama kehidupan.
Direktur Gizi Masyarakat di Kementerian Kesehatan Dhian Probhoyekti mengatakan, salah satu cara mengentaskan stunting yaitu dengan menurunkan angka anemia atau kekurangan sel darah merah di kalangan remaja putri.
"Hal ini (menurunkan anemia pada remaja putri), tidak secara langsung akan berkontribusi penurunan stunting ke depannya," ujar Dhian dalam konferensi pers MIRTA Youth Nutrition International, Kamis (27/5/2021).
Baca Juga: Mengonsumsi Kangkung Ketika Sahur Bikin Mengantuk, Mitos atau Fakta?
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 prevalensi anemia pada anak remaja usia 15 hingga 24 tahun sebesar 32 persen. Data ini mengisyaratkan 2 sampai 3 dari 10 remaja Indonesia mengalami anemia.
Sedangkan di periode usia remaja itu, 32 persen di antaranya berpotensi menjalani pernikahan usia dini dan menyebabkan perempuan muda hamil dalam kondisi anemia.
Sehingga, kata Dhian fokus memperbaiki gizi remaja putri termasuk yang anemia, jadi sasaran prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024.
"Karena kesehatan gizi dan remaja akan memengaruhi status kesehatan dan gizi periode berikutnya. Khususnya pada saat remaja putri tersebut siap menjadi calon ibu," terang Dhian.
Harapannya, apabila anemia berhasil diturunkan maka remaja putri bisa jadi seorang ibu hamil yang sehat, sehingga anak tidak kekurangan gizi yang akhirnya risiko stunting menurun.
Baca Juga: Sama-sama Buat Lesu dan Muka Pucat, Ini Beda Anemia dan Talasemia
"Hal ini tidak secara langsung akan berkontribusi penurunan stunting, ke depannya lahir bayi sehat ibu sehat bebas anemia," pungkas Dhian.
Itulah mengapa Kemenkes membuat program kerjasama dengan Nutrition International untum membuat program MITRA Youth, yakni program pencegahan anemia pada remaja putri di 10 kabupaten di Jawa Timur dan 10 kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Adapun salah satu kegiatan yang dilakukan adalah pemberian tablet tambah darah melalui fasilitas kesehatan dan sekolah, edukasi orangtua tentang pentingnya mengonsumsi tablet tambah darah.