Ilmuwan Kembangkan Pengobatan Untuk Pulihkan Kebutaan Genetik

Rabu, 26 Mei 2021 | 10:05 WIB
Ilmuwan Kembangkan Pengobatan Untuk Pulihkan Kebutaan Genetik
Ilustrasi kebutaan genetik. (Pixabay)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Para ilmuwan tengah mengupayakan pengobatan untuk memulihkan kebutaan yang disebabkan oleh penyakit mata bawaan atau disebut retinitis pigmentosa.

Dalam sebuah makalah yang diterbitkan Senin (24/5/5/2021) di jurnal Nature Medicine, para peneliti yang bekerja dengan perusahaan GenSight Biologics SA yang berbasis di Paris melaporkan bahwa seorang pria berusia 58 tahun yang didiagnosis dengan retinitis pigmentosa saat usia remaja dapat menemukan objek yang diletakkan di atas meja. Kondisi itu terjadi setelah pria tersebut menerima terapi eksperimental.

Perusahaan Bionic Sight LLC yang berbasis di Kota New York mengumumkan pada bulan Maret bahwa empat orang tunanetra dalam uji klinis tahap awal sekarang dapat mendeteksi cahaya dan gerakan setelah menjalani perawatan serupa. Tetapi hasil tersebut belum dipublikasikan.

Semua pasien memiliki kasus retinitis pigmentosa lanjut, yang dialami oleh lebih dari dua juta orang di seluruh dunia. Semua menjalani terapi optogenetik, di mana suntikan digunakan untuk mengirimkan gen ke dalam mata untuk meningkatkan sensitivitas cahaya dari sel-sel tertentu di retina, lapisan jaringan di bagian belakang mata.

Baca Juga: Studi: Mandi Pakai Lensa Kontak Berisiko 7 Kali Sebabkan Kebutaan

Dr. Anand Swaroop, peneliti senior di National Eye Institute di Bethesda, Md., menyebut terapi optogenetik sebagai pilihan yang menarik untuk beberapa orang buta, tetapi bukan obatnya.

"Begitu penglihatan hilang sama sekali, memulihkan penglihatan yang memungkinkan resolusi tinggi, sensitivitas tinggi, dan deteksi tinggi tidaklah sederhana," kata Swaroop dikutip dari Fox News.

GenSight mengatakan pihaknya juga mengembangkan terapi sebagai pengobatan untuk degenerasi makula, penyebab utama kehilangan penglihatan pada orang yang berusia di atas 50 tahun.

Penggunaan terapi gen untuk mengobati kebutaan bukanlah hal baru. Luxturna, obat resep yang disetujui pada 2017 oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS, digunakan pada anak-anak dan orang dewasa yang mengalami retinitis pigmentosa yang disebabkan oleh mutasi genetik tertentu. Editas Medicine of Cambridge, Mass. sedang menguji pengeditan gen Crispr pada pasien retinitis pigmentosa dengan mutasi gen yang berbeda.

Tetapi retinitis pigmentosa dapat disebabkan oleh mutasi pada lebih dari 70 gen yang berbeda. Dokter mengatakan terlalu mahal dan sulit untuk mengembangkan terapi gen untuk semuanya.

Baca Juga: Ilmuwan Kembangkan Kelenjar Air Mata di Laboratorium, Disebut Mirip Aslinya

Optogenetika menawarkan kemampuan untuk mengobati kebutaan yang disebabkan oleh retinitis pigmentosa terlepas dari mutasi gen spesifik yang mendasarinya.

"Ini adalah gen-agnostik," kata Dr. Brian Brooks, direktur klinis National Eye Institute.

Memulihkan penglihatan adalah tujuan penting bagi para ilmuwan dan dokter, dan banyak strategi lain sedang dilakukan di laboratorium akademis maupun perusahaan, termasuk terapi mata bionik dan sel punca selain obat-obatan dan optogenetik.

Dalam penglihatan normal, sel peka cahaya di retina yang dikenal sebagai fotoreseptor, mengubah cahaya menjadi sinyal listrik yang berjalan ke sel ganglion terdekat. Sel-sel ini kemudian mengirimkan sinyal melalui saraf optik ke otak, yang mengubahnya menjadi persepsi visual. Pada retinitis pigmentosa dan kelainan retina herediter serupa, fotoreseptor rusak dan berhenti bekerja.

Terapi optogenetik mengatasi masalah itu dengan melewati fotoreseptor, menggunakan gen yang disuntikkan untuk memberikan kepekaan cahaya pada sel ganglion yang merespons cahaya yang dipancarkan ke mata oleh kacamata.

Versi teknologi optogenetika saat ini memiliki beberapa keterbatasan, menurut para ilmuwan di balik penelitian tersebut. Hanya sebagian kecil dari sel ganglion pasien yang dirawat, membatasi potensi manfaatnya. Pasien yang dirawat belum tentu bisa kembali mendapatkan semua penglihatannya. Mereka tetap sulit untuk membaca, mengemudi, atau mengenali wajah.

"Ini bukan penglihatan normal. Tapi itu memberi harapan untuk mengembalikan visi yang bermakna," kata Dr. Botond Roska dari Universitas Basel dan Institut Molekuler dan Klinis Ophthalmology Basel, seorang ahli dalam studi penglihatan dan retina dan penulis makalah lainnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI