Masalah Etis dan Diskriminatif di Balik Program Vaksin Gotong Royong

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Selasa, 11 Mei 2021 | 13:07 WIB
Masalah Etis dan Diskriminatif di Balik Program Vaksin Gotong Royong
Ilustrasi vaksin COVID-19 (pixabay)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemerintah telah resmi menetapkan harga vaksin untuk program vaksinasi gotong royong. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa harga vaksin gotong royong ditetapkan sebesar  Rp375 ribu per dosis, dan biaya penyuntikannya Rp125 ribu per dosis.

Sehingga total untuk satu kali suntik vaksin dibanderol dengan harga Rp500 ribu. Seperti diketahui, menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10/2021 tentang Vaksinasi Gotong Royong, biaya vaksinasi gotong royong ditanggung oleh badan hukum/badan usaha yang melaksanakan vaksinasi kepada karyawan/karyawati, keluarga dan individu lain terkait dalam keluarga.

Dengan begitu, penerima Vaksin Covid-19 dalam pelayanan Vaksinasi Gotong Royong tidak dipungut bayaran atau gratis. Dikutip dari ANTARA, Airlangga sendiri mengatakan ada dua merek vaksin yang akan digunakan dalam program vaksinasi gotong royong ini, yakni Sinopharm dan CanSino.

Kedua merek vaksin ini diproduksi oleh dua perusahaan farmasi China. Namun, keputusan untuk mengadakan program vaksinasi gotong royong ini dinilai dinilai Epidemiolog tidak etis dan diskriminatif di tengah situasi pandemi Covid-19 dan masih banyak kelompok rentan yang belum mendapatkan vaksinasi.

Baca Juga: Ucap Syahadat dan Takbir, Adik: Tengku Zul Seperti Siap Dipanggil Allah

Ilustrasi vaksin Covid-19 (unsplash/@hakannural)
Ilustrasi vaksin Covid-19 (unsplash/@hakannural)

Tidak etis di tengah situasi pandemi

"Yang jelas tidak etis belum etis, karena situasinya bahwa terlalu banyak masyarakat yang harus divaksin tapi belum bisa divaksin. Hal itu tentunya karena faktor pemerintah juga, bukan karena masyarakat," ujar Epidemiolog Griffith University Dicky Budiman kepada Suara.com, Selasa, (11/5/2021).

Seperti dikutip dari situs Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, hanya sekitar 1,7 juta lansia yang mendapatkan vaksin penuh dari total target sekitar 21 juta atau baru sekitar 8 persen. Sementara itu, untuk tenaga kesehatan sendiri angka cakupan vaksinasi berkisar di angka 1,3 juta jiwa dari total target 1,4 juta atau sekitar 98,03 persen.

Untuk petugas publik sendiri baru sekitar 5 juta jiwa yang mendapatkan vaksin Covid-19 penuh dari total target sekitar 17 juta jiwa. Sehingga total cakupan vaksin secara keseluruhan  baru sekitar 8,8 jiwa dari total 40 juta jiwa, atau baru sekitar 21 persen.

Dicky menilai, bahwa rendahnya cakupan vaksinasi di kelompok rentan karena akselerasi program dari pemerintah rendah. Selain itu juga terkait ketersediaan, dan juga jumlah vaksinasi yang masih belum memadai.

Baca Juga: Warga India Rela Antre Demi Mandi Kotoran Sapi Untuk Obati Corona

"Setidaknya mencapai 50 persen dari target yang dicapai, karena di negara-negara yang berhasil seperti Israel atau Amerika 50 persen cukup efektif dalam membendung dalam meredam kecepatan, itu yang membuat akhirnya.

Dicky juga mempertanyakan alokasi ketersediaan vaksin yang akan digunakan untuk program vaksinasi gotong royong yang menggunakan produk dari Sinopharm. Seperti diketahui, vaksin Sinopharm sendiri merupakan bantuan dari Uni Emirat Arab.

"Kalau bicara Sinopharm itu vaksin yang kita dapat dari Uni Emirat Arab, dan statement resminya, itu adalah donasi, artinya masa donasi dijual. Bagaimana etikanya," ujar Dicky.

Diskriminatif dan memperbesar kesenjangan

Selain itu, program vaksinasi gotong royong yang menggunakan produk Sinopharm juga akan menimbulkan kesan diskriminatif dan kesenjangan di masyarakat umum. Seperti diketahui vaksin Sinopharm diketahui mencapai 78 persen. Angka itu lebih tinggi dari vaksin Sinovac yang hanya 65 persen.

"Kalau ini diperuntukkan untuk vaksin gotong royong, orang publik mau nggak mau mengatakan vaksin ini lebih baik dibanding Sinovac yang belum masuk emergency use WHO. Tapi malah dikasih dalam mekanisme gotong royong dan ini akan kontradiktif lagi. Dan timbul adalah munculnya kesan diskriminatif bahwa itu vaksin kelas satu," ujar Dicky.

Dicky sendiri sejak awal dengan tegas bahwa dalam situasi krisis seperti pandemi Covid-19, vaksin mesti diberikan secara gratis pada masyarakat. Terlebih, secara aturan, menurut Dicky, itu merupakan kewajiban negara untuk bisa menyediakan vaksin secara gratis untuk  semua.

"Dan yang harus diperhatikan, kenapa harus digratiskan, karena ini statusnya bencana nasional, bahkan global, bagaimana mungkin dalam situasi seperti ini malah berdagang dengan masyarakat kita,"kata dia.

Dicky sendiri tidak menutup kemungkinan bahwa nantinya vaksin Covid-19 bisa diperjualbelikan seperti halnya sejumlah vaksin lain. Namun, Dicky menggarisbawahi bahwa saat ini bukan momen yang tepat untuk memperjualbelikan vaksin.

Ia juga mengatakan, bahwa Indonesia satu-satunya negara yang memperjualbelikan vaksin di tengah situasi pandemi. Selain itu, mekanisme ini juga tidak memiliki dasar dukungan ilmiah yang kuat bahwa memiliki dampak positif.

"Kalau mau herd immunity kata siapa, itu long term goal, sekarang kalau mau jujur agak mustahil akan tercapai, bahkan 10 tahun belum tentu, karena varian baru muncul banyak banget," ujar dia.

Untuk itu, Dicky menyarankan bahwa program vaksinasi harus diakselerasi dan dipercepat serta dilakukan intensifikasi dan ekstensifikasi. Terutama di kelompok rawat seperti lansia dan komorbid. Serta untuk mereka yang berpotensi rawan seperti di daerah bencana. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI