Suara.com - Banyak masyarakat Indonesia sepakat dan mengatakan layanan imunisasi anak terganggu akibat pandemi COVID-19.
Hal tersebut terungkap lewat penilaian cepat yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan UNICEF pada April 2020 terhadap lebih dari 5.300 fasilitas kesehatan di Indonesia dengan menunjukkan data 84 persen responden menyadari hal tersebut
Survei ini juga menunjukkan cakupan imunisasi dasar lengkap di Indonesia pada April 2020 menurun 4,7 persen dibanding April tahun 2019 lalu. Hal ini menunjukkan tingginya risiko anak-anak terpapar penyakit serius seperti Infeksi Rotavirus dan Hepatitis A.
Infeksi Rotavirus dendiri merupakan jenis virus yang menyebabkan peradangan di saluran pencernaan, dan menjadi penyebab umum diare dan muntah-muntah.
Baca Juga: Genjot Vaksinasi, Indonesia Terima Setengah Juta Dosis Vaksin Sinopharm
Kasus diare rotavirus berat yang harus dirawat inap, seringkali terjadi pada anak dalam kelompok usia 0-36 bulan, kelompok usia ketika anak-anak sangat rentan terhadap dehidrasi.
Jika tidak mendapat penanganan yang tepat, terutama untuk menggantikan cairan yang keluar, rotavirus dapat menyebabkan kematian.
Karena itu, vaksin rotavirus merupakan pencegahan paling utama yang dapat dilakukan untuk mencegah virus paling umum penyebab diare pada bayi dan anak-anak di seluruh dunia.
Tingginya angka kematian akibat rotavirus mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan perluasan imunisasi dasar saat ini dengan menambah vaksin rotavirus untuk menekan angka kematian bayi dan anak.
Berdasarkan keterangan dari dr. Deliana Permatasari, GSK Vaccine Medical Director, vaksin rotavirus monovalen diberikan dua kali, dengan pemberian dosis pertama pada usia enam minggu, dan dosis kedua diberikan dengan interval empat minggu, selambat-lambatnya sebelum si kecil berusia 24 minggu.
Baca Juga: Pemkot Jakarta Utara Gelar Vaksinasi di Permukiman Kumuh Mulai Pekan Depan
"Vaksin Rotavirus diberikan secara oral, tidak disuntikkan, sehingga parents maupun si kecil tidak perlu cemas akan jarum suntik," tambahnya.
Selain rotavirus, penyakit endemis yang juga sering luput dari pencegahan adalah Hepatitis A. Infeksi virus Hepatitis A biasanya ditemukan pada negara dengan endemisitas tinggi, dimana infeksi biasanya terjadi sebelum anak berusia lima tahun dan sangat menular.
Pentingnya pemberian vaksin hepatitis A sebagai pencegahan utama ditekankan oleh WHO yang merekomendasikan masuknya vaksin hepatitis A dalam program wajib imunisasi nasional bagi anak berusia satu tahun ke atas yang tinggal di daerah dengan perubahan endemisitas hepatitis A tinggi ke sedang.
Di Indonesia sendiri hepatitis A pernah menjadi kejadian luar biasa (KLB) dimana tercatat hingga 957 kasus Hepatitis A di Pacitan pada tahun 2019.
Berdasarkan rekomendasi IDAI tahun 2020, vaksin hepatitis A diberikan dalam 2 dosis pada periode usia 12 bulan – 18 tahun, serta bagi siapapun yang akan melakukan perjalanan ke wilayah endemis hepatitis A untuk melakukan imunisasi dua sampai empat pekan sebelum keberangkatan.
GlaxoSmithKline (GSK) sebagai perusahaan perawatan kesehatan global dengan teknologi sains terdepan senantiasa berupaya untuk membantu masyarakat berbuat lebih banyak, merasa lebih baik, dan hidup lebih lama.
"Kami percaya bahwa tingkat kesejahteraan suatu negara dapat diukur dari tingginya tingkat vaksinasi. Edukasi mengenai pentingnya vaksin harus menjadi agenda yang dilakukan secara kontinu, agar masyarakat betul-betul memahami manfaat mendapatkan vaksin tepat waktu dan tidak mudah terpengaruh informasi menyesatkan mengenai vaksin," ujar dr. Deliana.
Dokter Deliana juga menambahkan bahwa vaksinasi merupakan cara yang aman dan hemat untuk mencegah penyakit dan menyelamatkan nyawa.
"Saat ini tersedia vaksin untuk melindungi setidaknya 20 penyakit, seperti difteri, tetanus, pertusis, influenza, dan campak. Vaksin-vaksin ini menyelamatkan hingga tiga juta nyawa setiap tahunnya,” paparnya.