MKEK IDI Edarkan Fatwa Etik Aktivitas Dokter di Media Sosial, Apa Isinya?

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Sabtu, 01 Mei 2021 | 15:40 WIB
MKEK IDI Edarkan Fatwa Etik Aktivitas Dokter di Media Sosial, Apa Isinya?
Ilustrasi dokter. (Shuttterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kasus viralnya video oleh dr Kevin Samuel Marpaung yang dinilai melecehkan perempuan masih segar di ingatan.

Di saat dokter-dokter lain menggunakan media sosial sebagai media edukasi kesehatan, penggunaan yang tidak tepat justru bisa mencemarkan nama baik dokter itu sendiri.

Atas dasar ini, Majelis Kehomatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengeluarkan fatwa etik dokter yang mengatur aktivitas media sosial seorang dokter.

Ada tiga belas fatwa yang ditandatangani langsung oleh Ketua MKEK IDI dr Pukovisa Prawiroharjo, Sp.S(K), dalam Surat Keputusan Nomor 029/PB/K/MKEK/04/2021 tertanggal 30 April 2021.

Baca Juga: Buntut Alat Antigen Bekas, Dokter Paru Minta Kemenkes RI Evaluasi

Fatwa Etik Dokter dalam Aktivitas Media Sosial. (Dok. MKEK IDI)
Fatwa Etik Dokter dalam Aktivitas Media Sosial. (Dok. MKEK IDI)

Di antaranya, dokter dianjurkan untuk memisahkan akun pribadi dengan akun yang digunakan saat memberikan edukasi kesehatan.

Dokter juga diminta mengendalikan diri saat berdebat di media sosial serta dilarang mempromosikan iklan dan jasa secara berlebihan.

Untuk menyimak lebih lengkap, berikut petikan fatwa-fatwa tersebut:

1. Dokter harus sepenuhnya menyadari sisi positif dan negatif aktivitas media sosial dalam keseluruhan upaya kesehatan dan harus menaati peraturan perundangan yang berlaku.

2. Dokter selalu mengedepankan nilai integritas, profesionalisme, kesejawatan, kesantunan, dan etika profesi pada aktivitasnya di media sosial.

Baca Juga: Kritik Adegan Medis di Ikatan Cinta, Dokter: Masker Oksigen Terbalik!

3. Penggunaan media sosial sebagai upaya kesehatan promotif dan preventif bernilai etika tinggi dan perlu diapresiasi selama sesuai kebenaran ilmiah, etika umum, etika profesi, serta peraturan perundangan yang berlaku.

4. Penggunaan media sosial untuk memberantas hoaks atau informasi keliru terkait kesehatan atau kedokteran merupakan tindakan mulia selama sesuai kebenaran ilmiah, etika umum, etika profesi, serta peraturan perundangan yang berlaku. Dalam upaya tersebut, dokter harus menyadari potensi berdebat dengan masyarakat.

Dalam berdebat di media sosial, dokter perlu mengendalikan diri, tidak membalas dengan keburukan, serta menjaga marwah luhur profesi kedokteran. Jika terdapat pernyataan yang merendahkan sosok dokter, tenaga kesehatan, maupun profesi/organisasi profesi dokter/kesehatan, dokter harus melaporkan hal tersebut ke otoritas media sosial melalui fitur yang disediakan dan langkah lainnya sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

5. Pada penggunaan media sosial, dokter harus menjaga diri dari promosi diri berlebihan dan praktiknya serta mengiklankan suatu produk dan jasa. Hal ini sesuai SK MKEK Pusat IDI Nomor 022/PB/K.MKEK/07/2020 tentang Fatwa Etika Dokter Beriklan dan Berjualan Multi Level Marketing yang diterbitkan MKEK Pusat IDI tanggal 28 Juli 2020.

Fatwa Etik Dokter dalam Aktivitas Media Sosial. (Dok. MKEK IDI)
Fatwa Etik Dokter dalam Aktivitas Media Sosial. (Dok. MKEK IDI)

6. Pada penggunaan media sosial untuk tujuan konsultasi suatu kasus kedokteran dengan dokter lainnya, dokter harus menggunakan jenis dan fitur media sosial khusus yang terenkripsi end-to-end dan tingkat keamanan baik, dan memakai jalur pribadi kepada dokter yang dikonsultasikan tersebut atau pada grup khusus yang hanya berisikan dokter.

7. Pada penggunaan media sosial termasuk dalam hal memuat gambar, dokter wajib mengikuti peraturan perundangan yang berlaku dan etika profesi. Gambar yang dimuat tidak boleh membuka secara langsung maupun tidak langsung identitas pasien, rahasia kedokteran, privasi pasien/keluarganya, privasi sesama dokter dan tenaga kesehatan, dan peraturan internal RS/klinik.

Dalam menampilkan kondisi klinis pasien atau hasil pemeriksaan penunjang pasien untuk tujuan pendidikan hanya boleh dilakukan atas persetujuan pasien. Identitas pasien seperti wajah dan nama pun harus dikaburkan. Hal ini dikecualikan pada penggunaan media sosial dengan maksud konsultasi suatu kasus kedokteran sebagaimana yang diatur dalam poin 6.

8. Penggunaan media sosial untuk tujuan edukasi kesehatan masyarakat sebaiknya dibuat terpisah dengan akun pertemanan agar fokus pada tujuan. Bila akun yang sama juga digunakan untuk pertemanan, dokter harus memahami dan mengelola ekspektasi masyarakat terhadap profesi kedokteran.

9. Pada penggunaan media sosial dengan tujuan edukasi ilmu kedokteran dan kesehatan yang terbatas pada dokter dan atau tenaga kesehatan hendaknya menggunakan akun terpisah dan memilah sasaran informasi khusus dokter/tenaga kesehatan.

10. Pada penggunaan media sosial dengan tujuan pertemanan, dokter dapat bebas berekspresi sebagai hak privat sesuai ketentuan etika umum dan peraturan perundangan yang berlaku dengan memilih platform media sosial yang diatur khusus untuk pertemanan dan tidak untuk dilihat publik.

11. Dokter perlu selektif memasukkan pasiennya ke daftar teman pada akun pertemanan karena dapat mempengaruhi hubungan dokter-pasien.

12. Dokter dapat membalas dengan baik dan wajar pujian pasien/masyarakat atas pelayanan medisnya sebagai balasan di akun pasien/masyarakat tersebut. Namun sebainya dokter menghindari untuk mendesain pujian pasien/masyarakat atas dirinya yang dikirim ke publik menggunakan akun media sosial dokter sebagai tindakan memuji diri secara berlebihan.

13. Bila memandang aktivitas media sosial sejawatnya keliru, dokter harus mengingatkannya melalui jalur pribadi. Apabila yang bersangkutan tidak bersedia diingatkan dan memperbaiki perilaku aktivitasnya di media sosial, dokter dapat melaporkan kepada MKEK.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI