Suara.com - Stunting menjadi salah satu masalah kesehatan anak yang umum di negara miskin dan berkembang termasuk Indonesia.
Stunting sendiri adalah kondisi anak gagal tumbuh baik secara fisik (lebih pendek) maupun pikiran, dan biasanya terjadi di 1.000 hari awal kehidupan.
Menurut Dr. dr. Tubagus Rachmat Sentika Hasan, Sp.A, MARS, IDAI Banten menyatakan bahwa kondisi stunting sendiri dapat dilihat dari enam tanda yang muncul di 1000 hari pertama kehidupan.
Salah satu yang paling terlihat adalah ketika anak tidak mengalami kenaikan berat badan selama dua kali timbangan.
Baca Juga: Indonesia Targetkan 100 Persen Air Minum Layak pada 2024
"Ada 6 golongan (anak yang bisa terkena stunting), satu yang berat badannya tidak naik dalam dua kali timbangan di usia tiga tahun pertama," ujar dokter Tubagus Rachmat pada webinar yang diselenggarakan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Tangerang Selatan bersama Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI), Selasa (27/4/2021).
"Yang kedua, cari anak yang berada di bawah garis merah (gizi buruk) dan yang (ketiga) berada di bawah garis kuning (kurang gizi)," imbuhnya.
Kemudian golongan anak yang perlu diperhatikan karena berpotensi stunting adalah mereka yang di leher memiliki kelenjar getah bening. Kemudian untuk tanda berikutnya adalah anak dengan TBC dan alergi.
"Kalau itu semua ditangani, tidak ada lagi yang stunting," ujar dokter Tubagus Rachmat.
Masalah stunting di Indonesia pada dasarnya tak jauh dari persoalan gizi. Berdasarkan Annals Globlal Health, stunting menjadi bentuk kekurangan gizi yang ditandai dengan gangguan pertumbuhan linear dalam 3 tahun pertama kehidupan.
Baca Juga: Penanganan Gizi Buruk di Depok Harus Ada Sinergitas Semua Pihak
Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia tahun 2019 menyebutkan angka stunting di Indonesia berada pada 27,67 persen.