Suara.com - Demam Berdarah Dengue atau DBD masih menjadi masalah kesehatan yang meresahkan bagi masyarakat Indonesia. Penyakit yang penularannya terjadi melalui nyamuk Aedes aegypti ini menimbulkan gejala berupa demam, nyeri otot, nyeri sendi, ruam, leukopenia, dan limfadenopati.
Peneliti Etomologi Nyamuk dan Guru Besar FKM Universitas Hassanuddin Prof. dr. Hasanuddin Ishak, MSc, PhD, pada acara Waspada Ancaman Demam Berdarah Dengue Di Tengah Pandemi COVID-19, Jumat (24/4/2021), menyebutkan secara klinis demam berdarah memiliki risiko kematian yang cukup tinggi.
“Karena virusnya itu bekerja pada pembuluh darah, sehingga ini yang paling bahaya,” ungkapnya.
Dan untuk pencegahan DBD, ia mengatakan bahwa fogging saja tidak cukup.
Baca Juga: Cuaca Ekstrem di Serang, Pemkab Imbau Warga Waspada Gelombang DBD
“Aplikasi fogging tunggal tidak menghasilkan perlindungan lebih lama, dan kemungkinannya rendah untuk memengaruhi populasi nyamuk Aedes dan juga penyakitnya,” papar Prof. dr. Hasanuddin Ishak lewat presentasinya.
Penyakit DBD sendiri hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat Indonesia, dengan jumlah penderita yang terus meningkat.
“Mengenai jumlahnya yang cenderung fluktuatif, yang dimaksud daerah endemik ini berkaitan dengan demam berdarah yang menetap. Baik penderitanya maupun yang menularkan,” ungkapnya.
Dan di tengah pandemi seperti ini, selain harus waspada pada Covid-19, kita juga perlu waspada pada penyakit DBD. Pastikan kita mengenali gejalanya, dan juga melindungi diri dari gigitan nyamuk dengan memakai obat anti nyamuk sebelum tidur.
Selain itu perlu juga melakukan 3 M untuk mencegah DBD, yakni menguras bak mandi, menutup tempat penampungan air, dan memanfaatkan limbah barang bekas yang bisa di daur ulang secara ekonomis.
Baca Juga: Warga Bintan Dihantui Demam Berdarah di Tengah Pandemi Covid-19