Suara.com - Seorang pria bernama Verner Dixon (39) menceritakan awal mula ia bisa didiagnosis dengan kanker otak, yang gejalanya mulai ia rasakan sejak tahun lalu.
Pada awal 2020, Dixon mulai mengalami migrain untuk yang pertama kalinya. Saat itu ia berpikir sakit kepala yang dialaminya berasal dari stres pekerjaan.
"Saya mengaitkannya dengan stres. Saya punya anak sekarang, memiliki karier, dan saya lebih sering di depan komputer dan menelepon," kata ayah tiga anak ini, dikutip Today, Minggu (25/4/2021).
Selain migrain, Dixon juga mulai merasakan sakit leher. Kondisinya ini berulang.
Baca Juga: Mitos Atau Fakta, Mie Instan Picu Tumor Payudara?
Ia pun mencoba mencari bantuan dengan melakukan pengobatan alternatif kiropraksi (chiropractic), metode terapi yang berfokus pada pengkoreksian tulang belakang, otot, dan persendian. Tetapi masalahnya tidak teratasi, bahkan kembali Dixon rasakan.

"Aku merasionalisasi situasi secara masuk akal karena aku sangat sehat, Nah, kalau leher saya sakit, mungkin ada saraf terjepit," lanjutnya.
Seiring waktu, Dixon mengalami gejala lain, yakni berkurangnya indera pendengaran. Kemudian, pada satu titik istrinya menduga sakit kepala dan leher yang dialami suaminya saling berkaitan.
Hingga pada awal Maret kemarin, Michelle (istri Dixon) memerhatikan lipoma di leher suaminya itu membesar. Hingga akhirnya Dixon terpaksa harus operasi untuk mengangkat benjolan tersebut.
Sebelum operasi, Dixon diharuskan melakukan CT scan agar dokter dapat melihat lokasi dan seberapa dalam limpoma yang harus ia angkat.
Baca Juga: Studi: Sel Tumor di Otak Bisa Jadi Tanda Awal Kanker Otak
Saat Dixon menerima surel dari dokter, ia memerhatikan ada massa sebesar 3,2 cm di kepalanya, selain bukti bahwa limpomanya membengkak.
"Email tersebut menunjukkan ya itu lipoma, tapi kami juga menemukan bukti adanya massa 3,2 sentimeter, kemungkinan itu schwannoma vestibular," kata Dixon.
Saat itulah ia dan Michelle menyadari Dixon juga memiliki tumor yang mengarah dari telinga bagian dalam ke otak.
"Saya tidak bisa melihatnya tanpa menangis, karena saya berpikir, 'saya akan menjadi ibu tunggal dari tiga anak balita'," ujar Michelle.

Schwannoma vestibular, sering disebut sebagai neuroma akustik, adalah tumor jinak yang berkembang di saraf koklea dan vestibular, yang mengontrol pendengaran dan keseimbangan.
Menurut National Institute on Deafness and Other Communication Disorders, sekitar 1 dari 100.000 orang mengembangkan schwannoma vestibular per tahun dan kebanyakan orang mengalami gejala antara usia 30 dan 60 tahun.
Dixon mengungkapkan langkah selanjutnya adalah tes pendengaran untuk menentukan dasar pendengarannya, diikuti dengan operasi atau pengangkatan.
"Saya bersyukur menderita lipoma, karena saya bisa saja terlambat mengetahui penyebab rasa sakit keoala saya," ujar Dixon.
Memang, kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa mereka menderita schwannoma vestibular sampai mereka kehilangan pendengaran atau sisi wajah mereka lemah.
Suami istri tersebut mengatakan prognosis Dixon bagus, tetapi ada risiko dia menjadi tuli di telinga yang terkena.
"Dia memiliki margin yang sangat jelas dan tampaknya tidak berbahaya untuk saat ini, tetapi ketika mereka mengeluarkannya, mereka akan melakukan biopsi," jelas Michelle.
Sementara Dixon menunggu untuk bertemu dengan audiolog dan ahli bedah saraf untuk menentukan waktu pengobatan, dia berbagi bahwa menghadapi kematiannya sendiri adalah panggilan untuk sadar akan gejala yang dirasakannya.