Suara.com - Tes cepat alias rapid test COVID-19 dikritik karena berisiko mengeluarkan hasil positif palsu.
Namun pemerintah Inggris mengatakan akan tetap melanjutkan program yang sudah berjalan sejak awal pandemi ini.
"Dengan sekitar satu dari tiga orang tidak menunjukkan gejala COVID-19, tes cepat dan rutin menjadi instrumen penting untuk mengendalikan penyebaran virus sebagai kemudahan pembatasan dengan mendapati kasus yang tidak terdeteksi," kata juru bicara Kementerian Kesehatan melalui pernyataan surat elektronik.
Tes cepat untuk COVID-19 sebelumnya dikritik oleh surat kabar Guardian, yang mengkhawatirkan adanya hasil positif palsu membuat penanganan covid-19 pada pasien yang benar-benar membutuhkan terhambat.
Baca Juga: Varian Baru Corona Asal Inggris Ditemukan di Batam, Diidentifikasi Pada TKI
"Tes cepat langsung mendeteksi kasus, yang artinya kasus positif dapat segera diisolasi, dan angka menunjukkan bahwa dari setiap 1.000 tes yang dilakukan, terdapat kurang dari satu hasil positif palsu," tulis pernyataan tersebut.
Mengutip surat elektronik yang bocor, Guardian pada Kamis (15/4/2021) melansir bahwa pejabat senior sedang mempertimbangkan pengurangan tes orang-orang yang tidak menunjukkan gejala, lantaran khawatir tentang maraknya hasil positif palsu di tempat-tempat dengan tingkat COVID-19 rendah, seperti London.
Juru bicara itu mengatakan percontohan regional berdasarkan pada ukuran sampel yang terlalu kecil untuk menarik kesimpulan, menambahkan "tidak ada rencana untuk menghentikan program universal".
Inggris melaporkan 2.672 kasus baru COVID-19 pada Kamis, menurut data pemerintah, naik tipis dari 2.491 kasus pada Rabu (14/4), tetapi mengalami penurunan selama tujuh hari terakhir menjadi hampir 7 persen dibanding dengan pekan lalu.
Total 32,44 juta orang telah menerima dosis pertama vaksin COVID-19 hingga 14 April dan 8,51 juta orang telah menerima dosis kedua. [ANTARA]