Suara.com - Surat Keputusan Bersama 4 Menteri menyatakan sekolah wajib melakukan pembelajaran tatap muka, usai tenaga pendidik menerima vaksin Covid-19 dari pemerintah.
Keputusan ini ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah di tingkat provinsi, yang melakukan uji coba sekolah tatap muka secara terbatas. Terbaru, pemerintah DKI Jakarta mulai melakukannya pada Rabu (7/4) kemarin.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, ada 85 sekolah yang menjadi lokasi uji coba. Jika hasil uji coba berjalan dengan baik, kebijakan ini akan diperluas.
"Insya Allah besok akan diujicoba tatap muka sekolah sementara selama dua bulan ke depan, mudah-mudahan bisa meyakinkan kita semua bahwa sapras bisa disiapkan dengan baik termasuk pendidik. Jika ini berhasil, maka ke depan kita mempertimbangkan untuk memperluas kembali," kata Riza di Balai Kota Jakarta, Selasa (6/4) malam.
Baca Juga: Siswa SD Banyak Diizinkan Ikut Sekolah di DKI, Epidemiolog UI: Itu Bahaya!
Riza mengatakan sekolah tatap muka aman dilakukan asalkan sekolah mengikuti syarat dan protokol kesehatan yang diperlukan.
Berdasarkan SKB 4 Menteri, sejumlah protokol kesehatan yang wajib ditaati antara lain:
- Kondisi kelas harus memenuhi jarak minimal 1,5 meter, dengan jumlah peserta didik terbatas.
- Jadwal pembelajaran dilakukan dengan sistem bergiliran.
- Wajib melakukan 3M, termasuk memakai masker, mencuci tangan pakai sabun, dan menjaga jarak.
- Kantin tidak boleh beroperasi
- Tidak ada kegiatan ekstrakulikuler dan olahraga
"Yakinkan anak-anak kita bahwa melaksanakan prokes itu tidak sulit, kemudian dengan menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak itu saja cukup untuk menjaga dari Covid-19," tutur Riza.
Risiko Klaster Sekolah
Dengan berjalannya uji coba sekolah tatap muka di sejumlah daerah, kekhawatiran terkait munculnya klaster Covid-19 baru dari sekolah pun mencuat.
Baca Juga: Epidemolog: Vaksinasi Guru Bukan Jaminan Sekolah Tatap Muka Akan Aman
Kritik datang dari Satuan Tugas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang meminta uji coba dihentikan.
Prof Zubairi Djoerban, Ketua Satgas Covid-19 dari IDI, menyebut uji coba ini berisiko membahayakan nyawa bukan hanya siswa dan peserta didik, tapi juga guru dan tenaga kependidikan lainnya.
Hal ini dikarenakan angka positivity rate (angka penularan(Covid-19) di Indonesia masih di atas 10 persen.
"Pasien Covid-19 baru masih terus muncul. Walaupun sudah berkurang, tapi belum aman. Nanti kalau sudah 5 persen aman, kurang dari 10 persen agak aman, namun berbahaya tapi bisa untuk uji coba. Kalau di atas 10 persen seperti sekarang, ya mboten. Nanti dululah," ungkap Prof. Zubairi saat dihubungi Suara.com.
Dokter yang akrab disapa Prof. Beri itu berharap pemerintah segera mencabut uji coba sekolah tatap muka, dan tidak menunggu sampai semua sekolah di Indonesia jadi tempat penularan Covid-19, karena keadaannya masih berbahaya.
Seharusnya kata dia, beberapa kasus penularan Covid-19 setelah pembukaan sekolah di daerah bisa jadi cerminan.
"Nggak usah menunggu seluruh sekolah tertular dulu baru dibatalin. Udah banyak banget kasusnya dari Sumatera Barat, Kendal, Pulau Batam, sampai 3 sekolah di tutup," kata Prof. Beri.
Vaksin Bukan Solusi
Adanya vaksin Covid-19 menjadi salah satu alasan pemerintah membolehkan adanya sekolah tatap muka. Namun menurut sejumlah pakar, vaksin bukanlah solusi.
Pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dr. Pandu Riono, MPH, Ph.D, mengatakan bahwa vaksinasi bagi tenaga pendidik tidak bisa menjadi modal untuk membuka sekolah.
Sebab jika hanya guru yang divaksinasi, fungsi perlindungan belum menyeluruh.
"Karena kan kalau melindungi masyarakat sekolah yang berinteraksi setiap hari mesti dilindungi semua. Penularannya bisa dari guru, orang tua, dan juga siswa kan? Kan tiap hari orang berinteraksi dan juga kumpul, pagi anaknya ketemu guru, sorenya ketemu orang tua," tuturnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh dr. Lucia Nauli Simbolon, Sp.A, anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). dr Lucia mengingatkan bahwa potensi penularan Covid-19 masih tinggi di sekolah meskipun guru sudah divaksinasi.
Apalagi, belum seluruh kelompok masyarakat mendapatkan vaksinasi Covid-19. Satu-satunya cara mencegah penularan adalah dengan memastikan protokol kesehatan tetap dijalankan.
"Prokes tetap harus dijaga. Kemudian pelacakan kalau ada kasus positif bagaimana. Siap enggak nantinya kalau ada (kasus) positif, (sekolah) akan buka tutup seperti halnya yang terjadi di luar negeri," katanya.
Pentingnya protokol kesehatan bukan hanya diterapkan untuk siswa dan peserta didik. Pandu Riono menyebut, guru pun wajib taat melakukan protokol kesehatan.
Jangan sampai gara-gara sudah divaksinasi, maka sekolah mengabaikan protokol kesehatan.
"Jangan tergantung sama vaksin, jadi tergantung konsep pencegahan di luar vaksin. Seperti cuci tangan, memakai masker selama pelajaran, ruangannya harus diatur, dan jangan masuk sekolah tiap hari. Disiplin itu yang mesti ditetapkan, jangan sampai gurunya sudah divaksinasi nggak mau pakai masker," tambahnya.
Orangtua Boleh Memilih
Keputusan membuka sekolah sudah diwajibkan. Namun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menegaskan bahwa orangtua punya hak untuk tidak mengizinkan anak mengikuti sekolah tatap muka.
"Itu sudah jelas tidak boleh dipaksakan, orang tua punya hak terakhir untuk mengirim anaknya untuk tatap muka atau lanjut PJJ. Jadi tidak boleh sekolah atau siapapun memaksa anak untuk pergi ke sekolah," kata Nadiem dalam diskusi KPCPEN, Kamis (1/4) lalu.
Dia juga menyebut dalam SKB tersebut mewajibkan sekolah tetap memberikan dua opsi yakni pembelajaran tatap muka (offline) atau jarak jauh (online) sesuai dengan izin orang tua atau wali murid.
Namun, Nadiem juga mengingatkan bahwa pembukaan sekolah bisa dilakukan dengan rotasi, misal hanya 3 hari seminggu ke sekolah untuk mengurangi potensi penularan akibat pembelajaran tatap muka.
"Karena sekarang rotasi sistemnya, mau tidak mau harus ada dua sistem, apa yang mereka kerjakan di rumah dan apa yang mereka kerjakan di kelas ya mereka ke kelas, mau tidak mau karena dibatasi maksimal dengan rotasi ya memang harus ada dua kanal pembelajaran tersebut dalam masa transisi ini," tutupnya.
Sementara itu, dr Lucia menilai bahwa pembelajaran jarak jauh alias sekolah daring masih menjadi opsi paling tepat dalam penyelenggaraan pendidikan di tengah pandemi.
"IDAI memang menyarankan PJJ dalam rangka pencegahan penularan covid. Kalau yang concern-nya pencegahan penularan covid jelas lebih aman. Tapi kalau concern-nya lebih ke pendidikan dan lain-lain, mungkin berbeda lagi," kata anggota IDAI dr. Lucia Nauli Simbolon, Sp.A., saat dihubungi suara.com, Kamis (8/4/2021).
Dokter Lucia menyarankan, orangtua sebaiknya menimbang positif dan negatif dari kedua metode belajar tersebut. Tetapi, jika orangtua mengizinkan sekolah tatap muka, terpenting adalah memastikan anak disiplin menerapkan protokol kesehatan.
"Kemudian ditinjau lagi apakah orangtua atau anak tersebut serumah dengan kakek atau nenek yang mungkin ada penyakit penyerta yang lebih berat. Terus dilihat juga apakah orang serumahnya mobilitasnya cukup tinggi atau tidak, kan jadi resikonya bisa kemana-mana. Diyakinkan anak bisa menjalankan protokol kesehatan dengan baik," paparnya.
Orangtua juga perlu memastikan sekolah taat dengan imbauan pemerintah untuk tidak membuka kantin juga mengaktifkan kegiatan ekstrakulikuler. Dokter Lucia mengungkapkan bahwa kasus Covid-19 pada anak di Indonesia masih cukup tinggi. Sehingga pencegahan penularan virus corona harus selalu digalakan.
Keputusan mengenai sekolah tatap muka atau pun secara dring memang selalu menimbulkan pro kontra, tambah dokter Lucia. Sehingga menurutnya, orangtua perlu mempertimbangkan manfaat juga resiko dari berbagai aktor untuk menentukan keputusan proses belajar mengajar tersebut.
"Sampai Maret kemarin, konfirmasi positif di Indonesia untuk angka anak-anak kurang dari 6 tahun maupun 6 sampai 18 tahun masih 0,6 persen. Itu kan masih cukup tinggi," ucapnya.