Suara.com - Hingga kini, sexual harassment atau pelecehan seksual di lingkungan kerja masih sering terjadi. Seperti yang dialami oleh seorang warganet bernama Nurul.
Dalam cuitannya yang viral pada Kamis (25/3/2021) lalu, perempuan ini menceritakan kisahnya yang mendapat perlakuan tidak pantas dari rekan kerjanya sendiri.
"Worst case adalah ketika suatu hari diceritain sama salah satu rekan ternyata kemarin ada kumpul di satu meja gitu cuma buat ngomongin gaya seks yang cewek suka itu apa, lalu ngambil contoh imajinasinya ya having sex with me. Semua orang disuruh guessing gaya favorite gue apa. Disgusting," tulis pemilik akun @sitsnoe tersebut.
Padahal, pelecehan seksual akan berdampak besar pada korbannya. Tidak hanya menyebabkan masalah kesehatan mental, tetapi juga dampak fisik.
Baca Juga: Dear Ibu, Ini 7 Tips Menjaga Kesehatan Mental Saat WFH
Psikolog klinis Colleen Cullen mencatat diagnosis paling umum pada korban pelecehan seksual adalah depresi, kecemasan, dan bahkan, gangguan stres pascatrauma (PTSD).
"Pengalaman (dengan pelecehan seksual) dapat memicu gejala depresi dan kecemasan yang baru bagi orang tersebut, atau dapat memperburuk kondisi sebelumnya yang mungkin telah dikendalikan atau diatasi," kata Cullen, dilansir NBC News.
Bahkan, beberapa penelitian menemukan bahwa pelecehan seksual di awal karir seseorang dapat menyebabkan gejala depresi jangka panjang.
Di sisi lain, korban pelecehan seksual dapat mengalami sakit fisik. "Kami menyebutnya (gangguan) somatisasi, yakni ketika kesehatan mental menjadi begitu luar biasa sehingga seseorang tidak dapat memprosesnya sampai-sampai mengatakan 'Saya telah mengalami trauma' atau 'Saya tertekan'," jelas psikolog Nekeshia Hammond.
"Intinya, ini semacam penyangkalan yang bila dialami dalam waktu lama bisa berubah menjadi gejala fisik," lanjutnya.
Baca Juga: Duh, Sepertiga Pasien Covid-19 Alami Masalah Gangguan Mental
Gejala fisik ini dapat berupa nyeri otot, sakit kepala, atau bahkan masalah kesehatan fisik kronis, seperti tekanan darah tinggi dan masalah gula darah.
"Dalam jangka panjang, ini bisa menyebabkan masalah jantung," lanjut Hammond.
Menurut psikolog klinis Helen Wilson, gejala fisik dirasakan karena pada dasarnya otak dan tubuh saling berkaitan.
"Bagian otak yang memproses emosi, termasuk stres, berada tepat di sebelah batang otak, yang berhubungan dengan fungsi tak sadar seperti detak jantung dan pernapasan," jelas Wilson.
Sumber stres akan disalurkan yang pada waktunya akan memengaruhi fungsi kardiovaskular, penyakit autoimun, serta fungsi metabolisme.
"Inilah mengapa kita cenderung sakit ketika kita stres, dan seiring waktu akan ada konsekuensi fisiologis," pungkas Wilson.