Suara.com - Pendidikan seks masih menjadi suatu hal yang tabu dibicarakan bagi masyarakat Indonesia. Bahkan, sejumlah orangtua enggah membicarakannya bersama anak.
Tidak jarang akhirnya anak justru mengakses dari sumber lainnya yang tidak terpercaya. Padahal sebenarnya pendidikan seks bisa diberikan sejak usia dini.
Lalu kapan sebenarnya pendidikan seks bisa dimulai?
Pendidikan seks bisa diberikan kepada anak-anak bahkan sejak usianya kurang dari dua tahun. Orangtua disarankan turut mengenalkan organ vital ketika anak sudah mampu juga mengenal anggota tubuhnya, seperti mata, hidung, mulut, tangan, dan sebagainya.
Baca Juga: Jangan Asal, Posisi Seks Ini Bisa Sebabkan Penis Cedera!
"Dari berbagai literatur, pendidikan seksual bisa diberikan sejak usia di bawah 2 tahun. Pada fase di mana anak-anak mulai mengetahui bagian tubuhnya. Misalnya dia mulai mengetahui mana mata, mana gigi, mana mulut, hidung, telinganya. Termasuk mulai bisa dikenalkan organ kelaminnya," kata Dokter spesialis anak dr. Zidnie Prisilla, Sp.A., dalam webinar Komodo Challenge, Senin (5/4/2021).
Tidak berhenti sampai di situ. Pendidikan seks harus terus berlanjut seiring bertambahnya usia anak. Karena itu, dokter Zidnie mengatakan bahwa penyampaian pendidikan seks kepada anak berbeda-beda, sesuai tahapan usianya.
Untuk usia 0 sampai 2 tahun
Pada tahapan awal ini, orangtua bisa memulai dengan mengenalkan setiap nama organ tubuh kepada anak. Mulai dari rambut hingga kaki, termasuk juga alat kelamin. Dokter Zidnie mengingatkan agar jangan memakai kata pengganti untuk menyebut alat kelamin.
"Dikenalkan saja, 'ini namanya vagina, penis, maupun anus'. Hindari menggunakan istilah yang seperti burung atau sebutan lain. Tidak masalah untuk diberikan pengertian yang sebaiknya. Bila anak menyebut kata vagina, tenis, anus juga ditanggapinya seperti biasa. Tidak ditanggapi dengan kehebohan," jelas dr. Zidnie.
Baca Juga: Tak Terima Dilarang Berhubungan Seks, Pria Ini Bakar Mobil Kakak Pacarnya
Usia itu juga anak sudah bisa diajarkan perbedaan jenis kelamin antara laki-laki atau perempuan. Sehingga orangtua bisa mulai menanamkan rasa malu kepada anak jika organ genitalnya terlihat di suasana umum.
Usia 2 sampai 5 tahun
Mulai ajarkan bagian tubuh yang tidak boleh disentuh oleh sembarangan orang. Seperti daerah dada, perut, paha, bokong, penis, ataupun vagina. Kemudian beritahu ada orang-orang tertentu yang tidak boleh memegang area tersebut. Juga anak diajarkan untuk memberitahu orangtua jika ada yang memaksa memegang area tersebut.
Usia 5 sampai 8 tahun
Memasuki usia tersebut, orangtua bisa mulai menjelaskan fungsi reproduksi secara sederhana.
"Mungkin sudah bisa mulai diajarkan bahwa laki-laki memiliki sperma, perempuan memiliki sel telur. Kemudian bila sperma bertemu dengan sel telur maka akan tumbuh bayi di perut seorang perempuan yang nantinya akan dilahirkan melalui vagina. Ceritakan itu pada usia anak 8 tahun," sara dr. Zidnie.
Usia 9 sampai 12 tahun
Pada rentang usia ini, kebanyakan anak sudah memasuki masa pubertas. Oleh sebab itu akan muncul berbagai perubahan pada fisik anak. Dokter Zidnie mengatakan, orangtua juga perlu menjelaskan berbagai perubahan yang terjadi itu agar anak tidak cemas, minder, atau pun takut terhadap yang dialami dalam tubuhnya.
"Pada usia ini juga sudah mulai bisa dikenalkan tentang infeksi menular seksual. Jadi misalnya tentang HIV atau AIDS. Penularan infeksi juga dapat terjadi saat melakukan seksual, bila alat produksi seksual tidak aman tentu dapat terjadi infeksi menular seksual. Kemudian pada usia ini bisa dijelaskan atau diajarkan mengenai kehamilan jadi bahwa ada perempuan yang sudah menstruasi, laki-laki yang sudah mimpi basah, hal tersebut bisa terjadi proses kehamilan," paparnya.
Anak usia pubertas juga umumnya sudah mulai tertarik dengan lawan jenis. Dokter Zidnie menyarankan, orangtua memberitahu anak apa yang boleh dilakukan apa yang tidak boleh dilakukan dengan lawan jenis.
Usia 13 sampai 18 tahun
Fase itu biasanya anak memiliki rasa ingin tahunya makin tinggi juga mendapatkan pengaruh dari teman-teman maupun info sekitar melalui internet. Karena itu pentingnya peran orangtua secara aktif dalam kegiatan anak juga menjadi pendengar bagi mereka.
"Bangun hubungan yang baik seolah-olah orang tua dan anak yang sudah remaja tidak sekedar hubungan orang tua dan anak, tapi hubungan sebagai sahabat. Sehingga dia akan lebih leluasa untuk menceritakan dan lebih nyaman menceritakan hal-hal lain terutama dengan topik seks," katanya.
Menurut dr. Zidnie, remaja seusia itu cenderung tertutup dengan orangtua. Sehingga pendekatan yang dilakukan juga disarankan lebih spesifik dan menjelaskan dengan bahasa yang gamblang.
"Jadi pada pendidikan seks ini bisa lebih spesifik menjelaskan bahwa anak perempuan yang sudah mens bisa hamil, bahwa proses kehamilan itu dari masuknya penis ke vagina, dan bahwa perilaku seksual bisa menyebabkan infeksi menular seksual," jelasnya.