Suara.com - Ilmuwan dari Universitas Oxford yang bekerja sama dengan AstraZeneca dalam pembuatan vaksin Covid-19 sedang berusaha mengembangkan produk yang sama, yakni vaksin untuk mengobati gonore.
Untuk mengembangkan vaksin penyakit menular seksual tersebut, program pendanaan antibakteri global CARB-X memberi Oxford Jenner Institute 2 juta USD (lebih dari Rp29 miliar).
Pengembangan vaksin ini muncul setelah adanya kekhawatiran infeksi bakteri tersebut tidak dapat diobati dengan antibiotik.
Pakar kesehatan, dilansir Insider, mengatakan peningkatan penggunaan antibiotik sebagai obat resep selama bertahun-tahun telah menyebabkan bakteri gonore Neisseria gonorrhoeae bermutasi dan kebal terhadap pengobatan umum.
Baca Juga: Pertama di Dunia, Rusia Luncurkan Vaksin COVID-19 untuk Hewan
Antibiotik juga digunakan untuk pasien Covid-19 yang mengalami infeksi dada dan pneumonia.
Jadi, ketergantungan penggunaan ini akhirnya menyebabkan versi mutasi dari gonore sulit dilawan, yang oleh para ilmuwan disebut sebagai 'super gonore'.
Hal ini dapat mempersulit penderita gonore untuk mendapatkan pengobatan efektif, meski kasus infeksinya atau penularannya dari orang ke orang tidak menjadi lebih parah.
Pada 2007, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) telah merekomendasikan kombinasi dua antibiotik ceftriaxone dan azithromycin karena obat terdahulu ciprofloxacin telah membuat bakteri gonore resisten.
Kemudian, pada 2018, para ahli menemukan IMS telah menjadi kebal terhadap azithromycin dan menyarankan dokter untuk menggunakan antibiotik lain, yakni ceftriaxone.
Baca Juga: Azis Syamsuddin Minta Percepatan Produksi Vaksin Dalam Negeri
Ilmuwan Oxford yang memimpin biaya untuk vaksin super gonore berharap dapat mencapai fase uji klinis pada 2024 mendatang.
Saat ini, mereka sedang menguji kandidat vaksin yang bekerja dengan menyuntikkan kantung berisi cairan tidak terlihat ke dalam tubuh.
Kantung tersebut memiliki sejumlah kecil gonococcus yang dimaksudkan untuk melatih tubuh seseorang mengenali infeksi dan melawannya.