Sindrom Patah Hati dan Stres Otak Saling Berhubungan, Ini Temuan Peneliti!

Senin, 29 Maret 2021 | 14:27 WIB
Sindrom Patah Hati dan Stres Otak Saling Berhubungan, Ini Temuan Peneliti!
Ilustrasi stres (pexels/@olly)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Peningkatan aktivitas otak akibat stres terkait denganr isiko masalah jantung langka yang disebut sindrom takotsubo (TTS). Menurut penelitian oleh European Society of Cardiology, kondisi ini juga dikenal sebagai sindrom patah hati.

Studi tersebut menemukan bahwa semakin besar aktivitas sel saraf di wilayah amigdala otak, maka semakin cepat sindrom TTS ini berkembang.

Para peneliti menyarankan bahwa intervensi untuk menurunkan aktivitas otak terkait stres ini bisa membantu mengurangi risiko pengembangan TTS. Kondisi ini bisa mencakup perawatan obat atau Teknik untuk menurunkan stres.

TTS juga dikenal sebagai sindrom patah hati, yang ditandai dengan melemahnya otot jantung mendadak. Kemudian, kondisi ini menyebabkan ventrikel kiri jantung membengkak di bagian bawah dan leher tetap sempit.

Baca Juga: Deteksi Tekanan Darah di Rumah, Efek Samping Vaksin AstraZeneca

Kondisi ini biasanya dipicu oleh episode tekanan emosional parah, seperti kesedihan, kemarahan atau ketakutan. Pasien akan mengalami nyeri dada dan sesak napas yang bisa menyebabkan serangan jantung dan kematian.

Ilustrasi patah hati (shutterstock)
Ilustrasi patah hati (shutterstock)

TTS lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Amigdala adalah bagian otak yang mengontrol emosi, motivasi, pembelajaran, dan memori.

Bagian amigdala ini juga terlibat dalam kontrol sistem saraf otonom dan mengatur fungsi jantung. Studi tersebut menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas neurobiologis terakit stres di amigdala mungkin memainkan peran penting dalam perkembangan TTS.

"Kami juga mengidentifikasi hubungan signifikan antara aktivitas otak terkait stres dan sumsum tulang belakang. Temuan ini memberikan wawasan tentang mekanisme potensial yang berkontribusi pada koneksi jantung-otak," kata Dr Ahmed Tawakol, wakil direktur Pusat Penelitian Pencitraan Kardiovaskular di Rumah Sakit Umum Massachusetts dikutip dari Health Shots.

Dalam studi pertama, pemindaian otak menggunakan F-fluorodeoxyglucose positron emission tomography/computed tomography (PET-CT) menilai aktivitas otak sebelum TTS berkembang.

Baca Juga: Waspada, Ilmuwan Peringatkan Risiko Gelombang Ketiga Virus Corona Covid-19

Dr Tawakol dan rekannya menganalisis data pada 104 orang dengan usia rata-rata 68 tahun, 72 persen di antaranya adalah wanita.

Para pasien telah menjalani pemindaian di Rumah Sakit Umum Massachusetts (Boston, AS) antara tahun 2005 dan 2019. Sebagian besar dari mereka menjalani pemindaian untuk memastikan mereka menderita kanker dan menilai aktivitas sel darah di sumsum tulang.

Para peneliti membandingkan 41 orang yang mengembangkan TTS antara enam bulan dan lima tahun setelah pemindaian dengan 63 orang yang tidak menderita TTS.

Dr Tawakal mengatakan area otak yang memiliki aktivitas metabolik lebih tinggi cenderung lebih banyak digunakan. Karena itu, aktivitas yang lebih tinggi di jaringan yang terkait dengan stres di otak menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki respons yang lebih aktif terhadap stres.

Demikian pula, aktivitas yang lebih tinggi di sumsum tulang mencerminkan metabolisme sumsum tulang yang lebih besar.

Para peneliti menemukan bahwa orang yang mengembangkan TTS memiliki aktivitas amygdala terkait stres lebih tinggi daripada pemindaian awal dibandingkan dengan individu yang tidak mengembangkan TTS.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI