Suara.com - Pandemi Covid-19 bukan hanya membuat kebutuhan peralatan kesehatan seperti masker dan hand sanitizer meningkat. Tapi, selama pandemi kebutuhan air bersih di masyarakat juga meningkat.
Hal itu diungkapkan oleh Direktur Bina Teknik SDA Kementerian PUPR, Prof. Dr. Ir. Eko Winar Irianto, M.T dalam sebuah diskusi memperingati Hari Air Dunia 2021.
Dalam acara Valuing Water, yang diadakan baru-baru ini, Eko mengatakan bahwa terjadi tren kenaikan kebutuhan air bersih selama masa pandemi Covid-19.
"Sebelum pandemi kebutuhan air bersih saja masih belum kita penuhi, ini tantangan baru untuk bisa memenuhi air yang disyaratkan sebagai protokol kesehatan Covid-19 baik itu mencuci baik tangan atau benda benda sekitar kita," ujar Eko.
Baca Juga: Rencana Sekolah Tatap Muka, Pemprov DKI: Secepatnya Lebih Baik
Kondisi itu berdampak pada kondisi neraca air nasional sehingga dibutuhkan upaya dalam mengatasi krisis air yang terjadi sekalipun di masa pandemi.
"Dengan adanya kebijakan work from home dan anjuran untuk perilaku hidup bersih sehat (PHBS), berdampak pada menurunnya konsumsi air non domestic hingga 5,57 persen dari sebelum pandemi, sedangkan konsumsi air domestic bertambah 3 kali lipat dari pemakaian normal.
Eko mengatakan bahwa kondisi ini terjadi saat masyarakat banyak kehilangan pendapatan mereka. Sementara peningkatan kebutuhan air ini meningkat 9 persen.
"Saat membutuhkan air spending mereka meningkat tapi realitaanya mereka kehilanngan pekerjaan sehingga ini menjadi tugas kita ke depan untuk bisa menyeimbangkan antara ketersediaan dengan kebutuhan.
Sementara itu, Direktur IBEKA (Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan), Tri Mumpuni mengatakan bahwa masyarakat sebetulnya sangat ingin untuk memperbaiki kondisi sumber daya air yang ada disekitar tempat tinggalnya.
Baca Juga: Alih Fungsi Lahan Jadi Ancaman Besar bagi Mata Air di Kawasan Bandung Utara
Hanya saja masih dibutuhkan strategi dan rencana konkrit yang dapat dengan mudah diikuti oleh masyarakat dalam penerapannya.
Tri Mumpuni juga mendorong anak muda untuk dapat berkontribusi langsung dalam upaya pemenuhan kebutuhan air dan energi di daerah-daerah marginal yang masih sulit dijangkau.
Dalam diskusi yang sama, Direktur Program TFCA Kalimantan Yayasan KEHATI, Ir. Puspa Dewi Liman, MSc menyampaikan program yang telah dilakukan untuk perlindungan air, diantaranya melalui konvensi Ramsar yang mengatur pengelolaan lahan basah secara berkelanjutan.
Lahan basah ini yang nantinya akan berfungsi sebagai pendukung kehidupan secara langsung sebagai sumber air tawar/air minum, menyediakan pakan manusia, rumah bagi lebih dari 100.000 mahluk hidup serta memberikan mata pencaharian dan produk berkelanjutan.
Secara ekologis, lahan basah berperan dalam pengendali banjir, pencegah intrusi air laut, erosi, pencemaran, dan pengendali iklim global.