Para Ahli Khawatir dengan Menumpuknya Sampah Masker Medis, Ini Dampaknya

Jum'at, 19 Maret 2021 | 18:20 WIB
Para Ahli Khawatir dengan Menumpuknya Sampah Masker Medis, Ini Dampaknya
Ilustrasi virus corona Covid-19, masker medis (Pixabay/Coyot)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Masker wajah telah digunakan untuk mencegah penyebaran virus corona Covid-19 dalam setahun terakhir. Karena, penggunaan masker salah satu tindakan pencegahan efektif untuk melindungi diri.

Sayangnya, masker wajah yang terbuat dari mikrofiber plastik bisa berkontribusi pada masalah plastik yang sedang berlangsung di dunia.

Penelitian baru menemukan hampir 130 miliar masker wajah digunakan setiap bulannya secara global. Artinya, ada sekitar 3 juta masker yang dibuang per menitnya.

Tapi, kebanyakan masker wajah yang harus dibuang atau sekali pakai ini terbuat dari mikrofiber plastik dan tidak ada pedoman tentang daur ulang masker.

Baca Juga: Dokter AS Prediksi Pandemi Virus Corona akan Berakhir April-Mei 2021

"Pada situasi ini penting untuk memahami potensi ancaman lingkungan dan mencegahnya menjadi masalah plastik berikutnya," kata para peneliti dari Universitas Denmark Selatan dan Universitas Princeton dikutip dari Fox News.

Ilustrasi virus corona, covid-19. (Pexels/@Anna Nandhu Kumar)
Ilustrasi virus corona, covid-19. (Pexels/@Anna Nandhu Kumar)

Universitas Denmark Selatan dan Universitas Princeton yang diterbitkan dalam jurnal Frontiers of Environmental Science & Engineering, para peneliti memeringatkan bahwa masker sekali pakai yang dibuat dengan mikrofiber plastik tidak bisa langsung terurai secara hayati.

Tapi, masker mikrofiber plastik ini bisa terfragmentasi menjadi partikel plastik yang lebih kecil, yaitu plastik mikro dan nano yang tersebar luas di ekosistem.

Para ahli mengatakan bahwa pandemi virus corona Covid-19 telah meningkatkan produksi masker sekali pakai. Di sisi lain dalam skala yang sama, botol plastik juga menjadi penyumbang utama masalah plastik di dunia, dengan sekitar 43 miliar botol diproduksi di seluruh dunia setiap bulannya.

Namun, ada perbedaan utama di antara keduanya, yakni sekitar 25 persen botol plastik masih bisa didaur ulang. Sayangnya, tidak ada pula panduan resmi tentang daur ulang sampah masker sehingga lebih mungkin dibuang dan menjadi limbah padat.

Baca Juga: Serumah dengan Anak-anak Justru Lindungi Diri dari Virus Corona, Kok Bisa?

"Jika sampah masker ini tidak dikumpulkan dan dikelola dengan benar, masker bisa berpindah dari darat ke air tawar dan laut melalui aliran permukaan, aliran sungai, arus laut, angin dan hewan," kata peneliti.

Jika penggunaan masker limbah ini semakin meningkat. Maka, lingkungan dan satwa liar akan terkena dampak dari limbah medis ini.

"Sama seperti sampah plastik lainnya, masker sekali pakai bisa menumpuk dan melepaskan zat kimia dan biologi yang berbahaya, seperti bisphenol A, logam berat, serta mikro-organisme patogen," jelasnya.

Selain itu, penyerapan partikel kecil plastik juga bisa menyebabkan efek kesehatan merugikan dengan 3 cara, yakni toksisitas partikel, toksisitas kimiawi, dan vektor mikroorganisme patogen.

Para pneliti juga berpendapat bahwa masker sekali bisa menimbulkan lebih banyak masalah daripada kantong plastik.

"Masalah kesehatan yang lebih baru dan lebih besar adalah masker dibuat langsung dari serat plastik berukuran mikro dengan ketebalan 1 hingga 10 mm," jelasnya.

Jika sampah masker ini rusak di lingkungan, masker bisa melepaskan lebih banyak plastik berukuran mikro, lebih mudah dan lebih cepat daripada plastik curah, seperti kantong plastik.

Bahkan dampak buruk ini bisa makin besar bila masker generasi baru, nanomasks yang menggunakan serat plastil berukuran nano dan menambahkan sumber polusi nanoplastik baru.

Jadi, para peneliti khawatir bahwa masker sekali pakai tidak akan seperti sampak plastik lainnya. Karena, bisa menumpuk dan melepaskan zat kimia dan biologis berbahaya, seperti bisphenol A, logam berat, dan mikro-organisme patogen lainnya.

"Semua zat kimia itu bisa berdampak merugikan pada tumbuhan, hewan dan manusia," kata Ahli Toksikologi Lingkungan Elvis Genbo Xu dari Universitas Denmark Selatan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI