Suara.com - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Bintang Puspayoga mengatakan perkawinan usia anak memicu bayi lahir stunting.
Bayi stunting ini lahir dari ibu yang masih berusia anak, yang menikah di bawah usia 18 tahun.
Stunting ialah kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis baik saat masih di dalam kandungan karena rendahnya pengetahuan ibu sehingga perkembangan janin terhambat.
Kondisi ini juga bisa disebabkan saat anak lahir, namun kekurangan asupan gizi sehingga pertumbuhannya terhambat dibanding anak lainnya.
Baca Juga: Mendagri Minta Tim Penggerak PKK Punya Program Atasi Persoalan Stunting
Itulah mengapa kondisi fisik dan psikis anak perempuan, yang akan menjadi ibu harus sangat diperhatikan, karena jika perempuan yang tidak siap menjadi ibu, lalu dipaksakan akan berdampak buruk pada anak yang dilahirkan.
"Dampak perkawinan anak tidak hanya akan dialami oleh anak yang dinikahkan, namun juga akan berdampak pada anak yang dilahirkan serta berpotensi memunculkan kemiskinan antar generasi. Bahkan data membuktikan, bahwa stunting terlahir dari ibu yang masih berusia anak," ujar Menteri Bintang dalam acara Deklarasi Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan Untuk Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia, Kamis (18/3/2021).
Selain menyebabkan anak tumbuh pendek dibandingkan anak-anak seusianya, stunting juga bisa menyebabkan kecerdasan anak di bawah rata-rata, sistem imun anak jadi mudah sakit, dan berisiko mengalami diabetes, sakit jantung, stroke hingga kanker.
Itulah mengapa kata Menteri Bintang, KemenPPPA akhirnya merevisi Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menjadi UU No. 16 Tahun 2019, yang menyatakan jika perempuan dan lelaki bisa menikah jika sama-sama minimal sudah berusia 19 tahun.
Dalam undang-undang sebelumnya dinyatakan jika batasan usia perempuan menikah ketika berusia 18 tahun, sedangkan lelaki 19 tahun.
Baca Juga: Pandemi Covid-19, Pemerintah Terus Fokus Tuntaskan Stunting
Sementara itu perkawinan usia anak masih menjadi momok di Indonesia, data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama menyatakan jika 60 persen dari permohonan dispensasi adalah anak di bawah 19 tahun.
Sepanjang sepanjang Januari hingga Juni 2020 terdapat 34 ribu permohonan dispensasi kawin. Jumlah permohonan dispensasi kawin ini jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 23.700 permohonan di 2019.
Rata-rata permohonan dispensasi kawin mayoritas beralasan kedua mempelai belum berusia 19 tahun, berdasarkan undang-undang baru yang ditetapkan.