Studi: Lansia Lebih Mungkin Mengalami Infeksi Ulang Covid-19

Kamis, 18 Maret 2021 | 17:23 WIB
Studi: Lansia Lebih Mungkin Mengalami Infeksi Ulang Covid-19
Ilustrasi lansia kenakan masker (Unsplash/Li Lin)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Lansia lebih berisiko terinfeksi ulang Covid-19 setelah infeksi pertama. Hal ini dinyatakan dalam penelitian baru yang telah diterbitkan di jurnal Lancet.

Melansir dari Healthshots, studi hasil tes di Denmark tahun lalu menunjukkan bahwa pasien Covid-19 yang berusia di bawah 65 tahun, 80 persen terlindungi dari infeksi ulang virus corona. Namun perlindungan turun menjadi 47 persen untuk mereka yang berusia 65 tahun ke atas.

Data ini menekankan bahwa meskipun telah terinfeksi, mantan pasien Covid-19 masih perlu diberikan vaksin. Sebab, perlindungan alami tidak dapat diandalkan terutama bagi lansia yang paling berisiko terkena penyakit parah. Analisis Denmark berfokus pada jenis virus corona asli dan tidak menilai varian baru yang dianggap lebih dapat menular.

“Temuan kami memperjelas betapa pentingnya menerapkan kebijakan untuk melindungi orang tua selama pandemi, bahkan jika mereka telah terjangkit Covid-19," kata Steen Ethelberg, peneliti senior dari Statens Serum Institut di Kopenhagen.

Baca Juga: Update 18 Maret: Positif Covid-19 RI Kembali Bertambah Jadi 1.443.853 Orang

"Wawasan kami juga dapat menginformasikan kebijakan yang berfokus pada strategi vaksinasi yang lebih luas dan pelonggaran pembatasan penguncian," imbuhnya.

Penulis penelitian menganalisis data yang dikumpulkan sebagai bagian dari strategi pengujian SARS-CoV-2 nasional Denmark. Lebih dari dua pertiga populasi atau sekitar 4 juta orang diuji selama periode yang mencakup gelombang pertama dan kedua di negara itu. 

“Semua data ini adalah konfirmasi di mana menunjukkan bahwa harapan perlindungan kekebalan melalui infeksi alami mungkin tidak dapat kami jangkau dan program vaksinasi global dengan vaksin dengan efikasi tinggi adalah solusi yang bertahan lama,” para profesor Rosemary Boyton dari Imperial College London.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI