Dampak Positif Menjaga Jarak: Berkurangnya Sindrom Mirip Polio

Kamis, 11 Maret 2021 | 20:00 WIB
Dampak Positif Menjaga Jarak: Berkurangnya Sindrom Mirip Polio
Ilustrasi disabilitas (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Menjaga jarak fisik tidak hanya memperlambat penyebaran virus corona Covid-19, tetapi juga dapat mencegah penularan wabah sindrom mirip polio yang langka, yakni myelitis lembek akut (AFM).

Myelitis lembek akut atau acute flaccid myelitis (AFM) merupakan kondisi tulang belakang kritis yang menyebabkan kelemahan pada tungkai. Kondisi ini mengurangi fungsi motorik dan dapat menyebabkan cacat seumur hidup.

Sindrom AFM pertama kali dilaporkan di Amerika Serikat pada 2012 dan muncul kembali setiap dua tahun berikutnya. Artinya, penyakit langka ini kembali pada 2020.

Untungnya, pencegahan telah dilakukan tahun lalu, meski tidak menyadarinya. Menurut peneliti, penyebaran AFM tertunda dengan adanya jarak sosial.

Baca Juga: Kenapa Pengidap Penyakit Langka Tak Dapat Perhatian Pemerintah?

Sebab, jarak sosial mengurangi terjadi penyakit pernapasan yang disebut enterovirus 68 (EV-D68), yang telah teridentifikasi berkaitan dengan AFM.

Ilustrasi jaga jarak (histock)
Ilustrasi jaga jarak (histock)

"Kemungkinan berkat jarak sosial, kasus AFM tetap redah pada 2020. Hanya ada 31 kasus dibanding 153 kasus pada 2016 dan 238 kasus di 2018," kata Sang Woo Park, Ph.D, mahasiswa di Departemen Ekologi & Biologi Evolusi Princeton.

Berdasarkan Medical Xpress, EV-D68 biasanya ditemukan pada bayi dan anak-anak dan dapat menyebabkan masalah pernapasan seperti pilek, batuk, atau bersin.

Meski peneliti sudah mengetahui hubungan EV-D68, mereka belum yakin dengan penyebab pasti penyakitnya.

Karenanya, tim peneliti yang dipimpin Universitas Princeton berusaha untuk lebih memahami hubungan antara AFM dan EV-D68, serta apakah ada wabah lain yang mungkin terjadi.

Baca Juga: Hari Penyakit Langka: Pasangan Ini Kehilangan Ketiga Anaknya Karena NP-C

"Meskipun saat ini jarang terjadi, sindrom ini telah meningkat frekuensinya dengan setiap wabah berturut-turut sejak 2014, sehingga sangat penting untuk lebih memahami pola dan pendorong di baliknya," sambungnya.

Peneliti merasa lega karena mendapati kasus AFM yang rendah di tahun lalu. Namun, menurutnya, ini adalah waktu yang bagus untuk mempersiapkan apa yang akan terjadi di masa depan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI