Suara.com - Hemofilia adalah penyakit kelainan darah langka, yang membuat darah tidak bisa cepat membeku selaiknya orang kebanyakan. Hasilnya, saat terjadi perdarahan ataupun luka di dalam dan luar tubuh, efeknya bisa sangat serius, bahkan berisiko kematian.
Beruntung kini biaya penanganan hemofilia masuk dalam jaminan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Namun menurut Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) Prof. dr. Djajadiman Gatot, Sp.A(K), pada praktiknya ada banyak kendala dalam penanganan hemofilia di Indonesia, termasuk ketersediaan obat dan dosis yang mencukupi.
"Jumlah obat dan dosis yang masih belum memadai sehingga masih banyak ditemui pasien yang mengalami kerusakan sendi, perdarahan berat seperti perdarahan otak dan organ dalam yang berisiko kematian," ujar Prof. Djajadiman dalam Kongres HMHI 2021, Sabtu (27/2/2021).
Baca Juga: Lidah Pria ini Mendadak Hitam dan Bengkak, Ternyata Tanda Hemofilia!
Tidak hanya itu, pun ketika pasien dengan hemofilia sudah mendapatkan terapi obat, tubuhnya bisa saja menolak obat yang diberikan. Hasilnya, dokter harua memberikan penanganan lain seperti antiinhibitor dan profilaksis.
"Untuk itu, pengobatan anti inhibitor dan terapi pencegahan atau profilaksis yang dilakukan secara rutin seperti yang telah dilakukan di berbagai negara dapat menjadi salah satu solusi untuk menjawab tantangan yang dihadapi pasien," jelas Prof. Djajadiman.
Pengobatan antiinhibitor adalah sejenis obat untuk menangani pasien hemofilia yang sudah resisten terhadap obat pembekuan darah.
Sedangkan profilaksis adalah terapi suntikan pencegahan agar terjadi pembekuan darah secara normal pada pasien hemofilia berat. Biasanya diberikan 2 hingga 3 kali seminggu untuk mencegah timbulnya pendarahan. Kedua terapi ini sudah diterapkan dan dipraktikkan oleh beberapa negara di dunia, di mana jumlah kasus hemofilia diprediksi sudah mencapai ratusan ribu.
Baca Juga: Kulit Bayi Mudah Memar dan Bengkak saat Merangkak, Waspada Hemofilia