Suara.com - Mahasiswa menjadi kelompok paling rentan mengalami depresi, berdasarkan studi terbaru dari Boston University.
Peneliti mengatakan, bahwa rasa kesepian merupakan penyebab terbesar depresi dan juga kecemasan, terutama yang terjadi pada kalangan mahasiswa.
Sebuah survei terhadap hampir 33.000 mahasiswa di Amerika Serikat mengungkap, prevalensi depresi dan kecemasan pada kaum usia muda terus meningkat, yang kini telah mencapai level tertingginya.
Kajian tersebut menyatakan kenaikan tingkat depresi merupakan pertanda meningkatnya faktor stres akibat pandemi virus corona, kerusuhan politik, serta rasisme.
Baca Juga: Nyoman Ardana Putra, Mahasiswa Bali Tewas Tabrak Tiang Listrik
"Separuh dari mahasiswa di musim gugur 2020 dinyatakan positif depresi dan juga kecemasan," ungkap Sarah Ketchen Lipson, peneliti kesehatan mental dari Boston University, dilansir dari Healthshots.
Sarah merupakan peneliti utama dari survei nasional yang dilakukan secara online, selama semester musim gugur 2020 melalui Healthy Minds Network.
Lipson, asisten profesor hukum, kebijakan, dan manajemen kesehatan dari BU School of Public Health mengatakan temuan survei tersebut menggarisbawahi perlunya staf pengajar universitas dan fakultas untuk menerapkan mekanisme yang dapat mengakomodasi kebutuhan kesehatan mental mahasiswa.
"Fakultas universitas harus fleksibel dengan tenggat waktu dan mengingatkan mahasiswa, bahwa bakat mereka tidak hanya ditunjukkan oleh kemampuan mereka untuk mendapatkan nilai tertinggi selama satu semester," papar Lipson.
Ia menambahkan, bahwa instruktur dapat melindungi kesehatan mental mahasiswa dengan mengatur tugas kelas pada pukul 5 sore, bukan tengah malam atau jam 9 pagi, waktu yang di mana dapat mendorong mahasiswa untuk tidur dalam waktu yang lebih lama.
Baca Juga: Peringatan Hari Peduli Sampah Nasional
"Mahasiswa tidak hanya sebagai pelajar tetapi, juga sebagai manusia dan menyebarkan informasi tentang sumber daya kampus untuk kesehatan mental dan juga kebugaran," ungkap Lipson.
Menurutnya, instruktur harus mengingat bahwa beban kesehatan mental tidak sama di semua demografi mahasiswa tempat di mana kuliah. Faktor ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan kinerja akademis.
Dalam perguruan tinggi universitas, Lipson mengatakan administrator harus fokus pada penyediaan layanan kesehatan mental bagi mahasiswa yang menekankan pada pencegahan, penanganan, dan ketahanan mental. Data survei musim gugur tahun 2020 mengungkapkan kesenjangan penanganan yang signifikan, yang berarti banyak mahasiswa yang diskrining positif mengalami depresi dan kecemasan yang tidak menerima layanan kesehatan mental.
"Semua mahasiswa harus menerima pendidikan kesehatan mental, idealnya sebagai bagian dari kurikulum yang diwajibkan,” sarannya.
Penting untuk dicatat, bahwa meningkatnya tantangan kesehatan mental tidak hanya terjadi di lingkungan kampus. Sebaliknya, temuan survei menyorot penurunan kesehatan mental yang lebih luas pada usia remaja dan usia dewasa muda.
Secara lebih luas, Lipson mengungkapkan depresi dan kecemasan dapat disebabkan oleh adanya faktor pandemi, dampak media sosial, dan pergeseran nilai-nilai sosial.
"Hutang mahasiswa sangat membebani, penelitian menunjukkan bahwa bunuh diri berhubungan langsung dengan kesejahteraan finansial," ungkapnya.