Meski Lockdown, Kematian karena Polusi Udara di Dunia Tetap Tinggi

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Kamis, 18 Februari 2021 | 13:45 WIB
Meski Lockdown, Kematian karena Polusi Udara di Dunia Tetap Tinggi
Gedung bertingkat tersamar kabut polusi udara di Jakarta, Senin (8/7). [ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Lockdown yang dilakukan sejumlah negara berhasil mengurangi dampak polusi udara, meskipun hanya sementara.

Data terbaru di lima kota terpadat dunia menunjukkan bahwa masih ada puluhan ribu kematian yang diakibatkan oleh polusi udara.

Dilansir ANTARA, kelompok kampanye lingkungan Greenpeace Asia Tenggara dan perusahaan teknologi kualitas udara IQAir mengukur tingkat polusi di 28 kota - dipilih berdasarkan ketersediaan data dan penyebaran geografis.

Di lima kota terpadat - Delhi, Mexico City, Sao Paulo, Shanghai dan Tokyo - polusi udara menyebabkan sekitar 160.000 kematian dan kerugian ekonomi sekitar 85 miliar dolar (Rp1,1 kuadriliun).

Baca Juga: Polusi Udara Dalam Ruangan Sama Buruknya dengan di Luar, Ini Bahayanya!

"Beberapa bulan penguncian tidak benar-benar menurunkan rata-rata polusi udara jangka panjang yang telah menerpa orang," kata Aidan Farrow, seorang ilmuwan polusi udara di Laboratorium Penelitian Greenpeace di Universitas Exeter Inggris.

"Agak mengejutkan melihat seberapa banyak gejolak yang terjadi - dan kami masih memiliki pekerjaan yang harus dilakukan untuk memperbaiki polusi udara," katanya kepada Thomson Reuters Foundation.

Polusi udara adalah risiko lingkungan terbesar bagi kesehatan manusia secara global, dan membunuh sekitar 7 juta orang setiap tahun, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

WHO mengatakan sembilan dari 10 orang menghirup udara yang tercemar, yang terkait dengan serangan pembuluh darah di otak, kanker paru-paru dan penyakit jantung - dan sekarang sama dengan efek dari merokok, kata para ahli kesehatan.

Masalahnya memengaruhi lebih banyak kota di Asia daripada di mana pun di dunia. Penyebab utamanya termasuk emisi kendaraan, pembangkit listrik tenaga batu bara, konstruksi, festival kembang api, pembukaan hutan, dan pembakaran tanaman, kayu bakar dan limbah.

Baca Juga: Studi Inggris: Polusi Udara Bisa Tingkatkan Risiko Hilangnya Penglihatan

Delhi memiliki angka kematian tertinggi di antara lima kota terbesar, dengan sekitar 54.000 kematian - atau satu per 500 orang - karena tingkat tinggi partikel polusi kecil, yang dikenal sebagai PM2.5, yang dapat menyebabkan penyakit paru-paru dan jantung, kata studi tersebut.

Ibu kota Jepang, Tokyo, menderita kerugian finansial tertinggi dengan sekitar 40.000 kematian dan kerugian ekonomi sebesar 43 miliar dolar (Rp604 triliun), tambahnya.

Penguncian untuk membendung penyebaran virus corona baru di kota-kota besar telah memaksa jutaan orang bekerja dari rumah, sementara ekonomi yang melambat telah memangkas emisi karbon dioksida.

"Kami telah melihat perubahan lalu lintas jalan raya, penerbangan juga ... tetapi sumber utama (polusi udara) terus beroperasi sebagian besar seperti sebelumnya," kata Farrow,

"Masalahnya sangat luas dan membutuhkan upaya multi-industri yang besar untuk mengatasinya," tambahnya, menyerukan lebih banyak investasi dalam teknologi yang lebih bersih, energi terbarukan, dan transportasi umum listrik.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI