Suara.com - Ilmuwan telah mengidentifikasi adanya beberapa varian baru virus corona yang bermutasi di tiga negara, yakni Afrika Selatan, Inggris, dan Brasil.
Peneliti menyebutnya sebagai varian B.1.1.7 dari Inggris, B.1.351 dari Afrika Selatan, dan P.1 dari Brasil. Virus ini diketahui mengembangkan mutasi pada huruf genetik yang sama, yang memengaruhi cara virus memasuki sel manusia.
Sebenarnya, mengapa virus bermutasi?
Seperti halnya organisme lain, virus berevolusi sesuai perubahan lingkungan agar bisa bertahan hidup, dilansir Indian Express.
Baca Juga: Pakar Rekomendasikan Vaksin Oxford/AstraZeneca untuk Lawan Varian Baru
Namun, evolusi virus dipengaruhi oleh inangnya karena mereka hanya bisa bereplikasi di dalam sel inang. Artinya, virus bermutasi untuk menghindari pertahanan yang disiapkan oleh inangnya.
Berdasarkan buku Medical Microbiology, virus RNA seperti SARS-CoV-2 memiliki tingkat mutasi yang jauh lebih tinggi, mungkin satu mutasi per salinan genom.
Mutasi bisa saja merugikan, netral, atau bahkan terkadang, menguntungkan. Hanya mutasi yang tidak mengganggu fungsi penting virus yang dapat bertahan dalam populasi tertentu.
Sebuah artikel yang terbit di Nature menjelaskan bahwa virus corona Covid-19 berubah jauh lebih lambat saat menyebar dibanding virus HIV penyebab AIDS.
Tetapi, seperti halnya manusia memengaruhi evolusi virus, virus juga telah membentuk cara manusia berevolusi.
Baca Juga: Varian Baru Virus Corona Picu Kekhawatiran, Adakah Batasan Mutasinya?
Dalam studi 2016 yang terbit dalam jurnal eLife, peneliti mencatat bahwa 'pertempuran' terus-menerus antara patogen (mikroorganisme pembawa penyakit) dan inang manusia telah lama diakui sebagai pendorong utama evolusi.
Secara signifikan, selama epidemi atau pandemi, populasi yang menjadi sasaran virus akan punah, atau akan beradaptasi.
Bagaimana proses mutasi virus?
Setelah virus memasuki tubuh inangnya, untuk menginfeksi, virus mulai bereplikasi atau membuat salinan dari seluruh urutan genetiknya. Tetapi sesekali, virus membuat kesalahan selama replikasi.
Menurut laman Universitas Harvard, kesalahan ini biasanya melibatkan perubahan dalam satu huruf. Setiap virus corona memiliki sekitar 30.000 huruf RNA.
Setelah itu, muncul varian baru dan bisa saja memiliki 'kemampuan' lebih. Misalnya seperti varian dari Inggris, yang diketahui 25% hingga 40% lebih menular dari SARS-CoV-2 awal.