Suara.com - Membangun pemikiran kritis (critical thinking) ternyata tidak hanya saat anak dewasa, tapi sedini mungkin dimulai sejak anak mulai masuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Guru Besar Bidang Gizi dan Pangan dan Pakar PAUD Prof. Dr. Ir. Netti Herawati, M.Si mengatakan pemikiran kritis sangat diperlukan untuk bekal anak menghadapi informasi yang serba berseliweran.
Melalui pemikiran kritis yang dilatih dan dibangun sejak kecil, menurut Prof. Netti anak tidak akan menjadi seperti 'kerbau yang dicocok hidungnya' alias tidak mudah manut, dan tidak mudah terbawa arus pergaulan yang buruk.
"Kalau dari kecil tidak dikembangkan critical thinkingnya maka anak akan mengikuti begitu saja, hoax, ajakan demo, ajakan yang tidak baik" ujar Prof. Netti dalam diskusi bersama Baby Happy, Wings Care, Selasa (16/2/2021).
Baca Juga: Tantangan PAUD di Masa Pandemi, Guru Dampingi Orang Tua Saat Mengajar
Pemikiran kritis tidak sama dengan membangkang, karena membangkang sama sekali tidak mempertimbangkan usulan. Namun dengan pemikiran kritis anak mencerna dan mendalami kebenaran informasi dengan yang terjadi di dunia nyata.
"Tapi kalau dari kecil kita ajak kritis maka mereka mereka akan berpikir 'ini bener nggak ya?', jadi nggak asal ambil saja," tutur Prof. Netti.
Lebih lanjut profesor yang tergabung dalam Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi) itu mengatakan anak juga perlu dilatih berpikir kreatif, sehingga anak tumbuh mandiri dan tidak menjadi orang yang mental 'pengemis' atau hanya menunggu bantuan.
"Jika tidak begitu, seperti dalam kondisi pandemi hingga pandemi berakhir, ia hanya menunggu bantuan dari orang lain. Ini karena dari kecil tidak dilatih menjadi kreatif atau tidak diberikan kesempatan kreatif oleh orangtua dan gurunya," pungkas Prof. Netti.
Baca Juga: Mendadak Untung, Guru PAUD Menang Lotere Rp 3,5 M usai Kena PHK