Suara.com - Terlepas dari meningkatnya jumlah kasus COVID-19 dan kematian yang dilaporkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), masih ada saja orang yang memilih untuk mengabaikan pandemi tersebut.
Dikutip dari Healthline, profesor psikiatri klinis ilmu kesehatan di University of California Amerika Serikat mengingatkan mengenai lima mitos virus corona penyebab sakit Covid-19 yang paling umum. Apa saja? Berikut daftarnya.
Mitos 1: COVID-19 hanya flu biasa
Meski flu dan COVID-19 sama-sama menyebabkan penyakit pernapasan, keduanya berbeda. Menurut Dr. Bruce E. Hirsch, dokter dan asisten profesor di Divisi Penyakit Menular di Northwell Health di New York, ada beberapa tumpang tindih antara COVID-19 dan penyakit lain yang disebabkan oleh infeksi virus.
“Perbedaan antara virus corona dan influenza serta virus yang lebih umum yang masih beredar adalah, kita tahu bahwa virus corona berikatan dengan reseptor di bagian bawah saluran udara, dan itu menjelaskan fakta tersebut begitu sering, tetapi tidak selalu, seperti batuk kering bersamaan dengan demam, juga kelelahan adalah tiga gejala yang paling sering dikaitkan dengan COVID-19," kata Hirsch kepada Healthline.
Mitos 2: COVID-19 hanya menyerang orang tua
Faktanya, dataTrusted Source dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) menunjukkan bahwa di Amerika Serikat dari 2.500 orang yang terinfeksi COVID-19, sebanyak 29 persen masih berusia 20 hingga 44 tahun.
Hirsch mengetahui hal ini secara langsung. Dia saat ini merawat seorang pria berusia 23 tahun dalam kondisi kritis akibat COVID-19.
“Seseorang yang masih muda cenderung tidak menderita penyakit parah. Tetapi kami sangat terganggu melihat cukup banyak individu yang lebih muda di bawah usia 60 - berusia 30-an dan juga 40-an. Juga beberapa di antaranya yang sangat terpengaruh, seperti sakit kritis, menggunakan alat bantu pernapasan, dan membutuhkan perawatan dan sumber daya medis yang luar biasa untuk yang terkena infeksi ini,” ungkap Hirsch.
Mitos 3: Tidak ada yang bisa dilakukan sampai vaksin ditemukan
Hirsch mengatakan efek vaksin yang efektif secara realistis masih akan terjadi sekitar 12 hingga 18 bulan lagi. Setelah satu tersedia, perlu waktu untuk memahami seberapa efektifnya.
“Ini sesuatu yang harus diperjuangkan, tapi saya rasa tidak ada kepastian yang akan mengakhiri epidemi,” katanya.
Baca Juga: Jarang Disorot, Bagaimana Perkembangan Vaksin Covid-19 Merah Putih?
Dia menambahkan bahwa fokus obat saat ini adalah menenangkan respons peradangan tubuh terhadap infeksi. Ia khawatir Covid-19 tidak akan hilang secepat yang diharapkan, dan penting untuk memiliki strategi.