Suara.com - Kudeta yang dilakukan oleh militer dinilai membuat penanganan Covid-19 terganggu.
Hal ini membuat staf rumah sakit dan fasilitas medis lainnya di Myanmar melakukan mogok kerja sebagai bentuk aksi protes.
Dilansir Anadolu Agency, staf di 70 rumah sakit dan fasilitas medis di 30 kota seluruh Myanmar berhenti bekerja pada Rabu (3/2/2021) sebagai protes atas kudeta militer terhadap Penasehat Negara Aung San Suu Kyi, kata Gerakan Ketidaktaatan Sipil Myanmar yang baru saja dibentuk.
Dalam pernyataannya, gerakan itu mengatakan tentara telah menempatkan kepentingannya sendiri di atas penduduk rentan yang menghadapi kesulitan selama pandemi virus korona.
Baca Juga: Kudeta Myanmar: Apa Saja Dakwaan untuk Aung San Suu Kyi dan Win Myint?
"Kami menolak untuk mematuhi perintah apa pun dari rezim militer tidak sah yang menunjukkan bahwa mereka tidak menghargai pasien kami yang malang," kata pernyataan dari kelompok protes itu.
"Kami hanya akan mengikuti dan mematuhi perintah dari pemerintah kami yang terpilih secara demokratis."
Myanmar hingga Rabu mencatat lebih dari 140.300 kasus Covid-19 dan lebih dari 3.100 orang telah meninggal, menurut data yang dikumpulkan oleh Universitas Johns Hopkins.
Sebelumnya, Militer Myanmar pada Senin mengumumkan telah merebut kekuasaan dan akan memerintah itu setidaknya selama satu tahun setelah menahan para pemimpin tertinggi negara itu.
Militer menyatakan keadaan darurat setelah menahan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint dan anggota senior lainnya dari partai berkuasa Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Baca Juga: Warga Myanmar: Seperti Deja Vu, Kami Seperti Kembali ke Masa Lalu
Mereka mengklaim bahwa langkah tersebut dilakukan karena kecurangan dalam pemilihan umum 8 November, yang mengakibatkan dominasi NLD di parlemen.
Militer juga mengumumkan bahwa Panglima Angkatan Bersenjata Min Aung Hlaing telah dilantik sebagai presiden.