Efektivitas Obat Psikiatri Tidak Selalu Sama pada Semua Orang, Mengapa?

Senin, 01 Februari 2021 | 10:56 WIB
Efektivitas Obat Psikiatri Tidak Selalu Sama pada Semua Orang, Mengapa?
Ilustrasi depresi (Pixabay)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tidak semua obat penyakit gangguan mental atau obat psikiatri efektif pada setiap orang. Obat dapat efektif pada seseorang tetapi tidak pada yang lain, terutama saat pria dan wanita dapat mengalami penyakit mental secara berbeda.

Sebuah penelitian oleh University of Colorado Boulder, Colorado, menjelaskan kemungkinan alasan tersebut. Ternyata protein kunci otak yang disebut AKT dapat berfungsi secara berbeda pada pria daripada wanita.

"Tujuan utama (studi) adalah untuk menemukan celah pada 'pelindung' penyakit mental, protein di otak yang secara spesifik dapat ditargetkan tanpa memengaruhi organ lain dan menyebabkan efek samping," kata Charles Hoeffer, asisten profesor fisiologi integratif di Institute for Behavioral Genetics di UC Boulder.

Ia menambahkan bahwa personalisasi juga merupakan kunci, menghindari pengobatan setiap penyakit mental dengan obat yang sama.

Baca Juga: Pasien Covid-19 yang Sudah Sembuh Dikhawatirkan Alami Penyakit Mental

Protein AKT pertama kali ditemukan pada 1970-an, dan baru-baru ini diidentifikasi sebagai pemain kunci dari plastisitas sinaptik, kemampuan otak untuk memperkuat koneksi angar neuron sebagai respon terhadap pengalaman.

Ilustrasi obat-obatan (pixabay)
Ilustrasi obat-obatan (pixabay)

"Katakanlah Anda lihat hiu dan Anda takut. Otak Anda ingin membentuk ingatan dengan membuat protein baru sebagai kode memori itu," sambung Hoeffer, dilansir Neuro Science News.

Tanpa AKT, peneliti menduga seseorang tidak dapat mempelajari ingatan baru atau mematikan ingatan lama untuk memberi ruang bagi ingatan baru yang tidak terlalu berbahaya.

Ada beberapa AKT, dan AKT1 yang dikombinasikan dengan AKT2 di korteks prefontal otak, dianggap penting dalam pembelajaran dan memori.

Menggunakan percobaan terhadap hewan, peneliti mengamati bagaimana tikus jantan dan betina merespon hilangnya berbagai isoform AKT.

Baca Juga: Mantan Pasien Covid-19 Bisa Alami Penyakit Mental, Ahli Paparkan Alasannya

"Kami menemukan perbedaan antara pria dan wanita begitu besar sehingga menjadi fokus studi kami," jelas Hoeffer.

Ilustrasi depresi (shutterstock)
Ilustrasi depresi (shutterstock)

Misalnya, AKT1 pada tikus jantan yang berfungsi normal jauh lebih baik daripada tikus yang kehilangan protein dalam menggantikan memori lama yang sudah tidak berguna lagi. Namun pada tikus betina hal ini tidak menunjukkan banyak perbedaan.

Hoeffer mencurigai banyak protein utama lainnya di otak yang bertindak secara berbeda pada pria dan wanita. Karenanya, masih diperlukan banyak penelitian dan hal itu sedang dilakukan.

Hoeffer berharap dengan menguraikan semua hal terbut dapat mendorong perawatan penyakit mental ke arah yang lebih baik dan aman.

"Untuk membantu penderita penyakit mental, kami membutuhkan lebih banyak pengetahuan tentang perbedaan antara otak pria dan wanita dan bagaimana mereka dapat diperlakukan secara berbeda," tandas Hoeffer.

Penelitian ini sudah diterbitkan dalam jurnal eLife pada pertengahan Desember 2020 lalu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI