Suara.com - Hasil tes negatif rapid Antigen dan polymerase chain reaction (PCR) Covid-19 jadi dokumen penting yang digunakan sebagai persyaratan melakukan berbagai perjalanan keluar kota Indonesia, saat pandemi Covid-19.
Tingginya minat dan kebutuhan di masyarakat ini akhirnya dimanfaatkan mahasiswa berinisial MFA untuk membuat surat hasil tes PCR palsu. Pihak kampus tempat MFA bernaung Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida) mengakui jika mahasiswanya tersebut tidak berhak untuk membuat hasil tes PCR tersebut.
"MFA sebagai mahasiswa tidak mempunyai hal dan kompetensi untuk menuliskan atau menghasilkan administrasi medis, seperti resep, hasil lab, dan lain-lain," tulis keterangan resmi Ukrida yang ditandatangani pihak rektor Dr.dr. Wani Devita Gunardi, Sp.MK (K) yang diterima suara.com, Jumat (8/1/2021).
Sementara itu jika merujuk Surat Edaran Menteri Kesehatan (Menkes) Nomor 234 Tahun 2020 tentang Pedoman Uji Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) SARS CoV 2, maka yang bisa memeriksa dan mengeluarkan hasil tes PCR adalah semua laboratorium milik pemerintah, BUMN, TNI/POLRI, swasta, virologi, kementerian, lembaga, hingga lembaga riset yang diperbolehkan melakukan pemeriksaan RT PCR SARS CoV 2.
Baca Juga: Jual Surat Swab Palsu, MFA Terancam Dipecat dari Kampus Ukrida
Penerbitan hasil tes PCR bukanlah perseorangan, sekaligus harus memiliki laboratorium dengan fasilitas Biosafety dan Biosecurity serta Good Laboratory Practice (GLP), dengan standar laboratorium BSL 2 seperti standar yang sudah ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.
Sehingga pembuatan hasil tes PCR palsu yang disangkakan pada MFA menyalahi aturan, karena ada sederet syarat ketat di atas harus terpenuhi pihak dan lembaga yang boleh menerbitkan hasil tes PCR.
Kini pihak Ukrida mengaku sudah menjatuhi sanksi berupa skorsing kepada MFA sampai dikelarkannya putusan hakim di pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, karena saat ini kasus masih bergulir.
"Pada saat rilis ini dikeluarkan, dengan menerapkan asas praduga tak bersalah dan berdasarkan keterangan yang telah dikeluarkan aparat penegak hukum, Ukrida memutuskan memberikan sanksi semantara yaitu skorsing kepada MFA," jelas pihak Ukrida.
"Ukrida akan mengikuti perkembangan kasus MFA hingag memiliki keputusan hukum yang tetap. Setalah ada kepastian hukum, Ukrida akan memberikan sanksi tegas sampai sanksi terberat (drop out) sesuai ketentuan yang berlaku di Ukrida," tutup pihak ukrida.
Baca Juga: Terlibat Pemalsuan Hasil PCR, Ukrida Ancam Pecat Mahasiswa Berinisial MFA
Sebelumnya, Penyidik Polda Metro Jaya meringkus tiga orang diduga pelaku pemalsuan surat tes usap (swab test) "polymerase chain reaction" (PCR) yang dipasarkan secara daring melalui media sosial.
"Modusnya membuat memalsukan data atas nama PT. BF, untuk kemudian bisa lolos berangkat ke Bali dengan memalsukan bukti tes usap (swab)," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus di Polda Metro Jaya, Kamis.
PCR merupakan salah satu metode pemeriksaan virus SARS Co-2 dengan mendeteksi DNA virus. Uji ini akan didapatkan hasil apakah seseorang positif atau tidak SARS Co-2.
Dikatakan, tiga pelaku pemalsuan tersebut yakni MFA yang ditangkap di Bandung, Jawa Barat. Selanjutnya, EAD yang ditangkap di Bekasi dan MAIS yang diamankan petugas di Bali.
Yusri menjelaskan terkuaknya kasus pemalsuan surat tes usap tersebut berawal dari unggahan media sosial tersangka MFA.
Adapun isi unggah akun Instagram @hanzdays tersebut yakni "Yang mau PCR cuma butuh KTP ga usah swab beneran. 1 jam jadi, bisa dipake diseluruh Indonesia, gak cuma Bali dan tanggalnya bisa pilih H-1/H-2 100% lolos testimoni 30+”.
Unggahan soal surat tes usap palsu kemudian menjadi ramai bahan pembicaraan warganet, yang salah satunya adalah dr. Tirta Mandira Hudhi.
Pembicaraan warganet soal surat tes usap PCR palsu tersebut kemudian sampai ke PT. Bumame Farmasi (BF) selaku penyelenggara tes usap PCR resmi yang namanya dicatut dalam surat tersebut. Pihak kuasa hukum PT. Bumame Farma pun melaporkan perkara pemalsuan tersebut ke Polda Metro Jaya.
"Ini di akun Instagram inisial MFA yang kemudian diketahui dr Tirta, yang kemudian sampai ke PT. BF yang melapor ke Polda Metro Jaya," ujar Yusri.
Akibat perbuatannya ketiganya kini dijerat dengan Pasal 32 jo Pasal 48 UU No.19/2016 dan atau Pasal 35 jo Pasal 51 ayat (1) UU No.19/2016 tentang ITE, dan atau Pasal 263 KUHP, dengan pidana penjara paling lama 12 tahun penjara.