Suara.com - Peristiwa cuaca parah seperti banjir dapat memicu gangguan stres pasca trauma (PTSD). Namun, kondisi ini lebih mungkin memengaruhi wanita daripada pria.
Sebuah penelitian kolaborasi antara Universitas York dan Pusat Kesehatan Mental mengamati lebih dari 17 studi yang meneliti dampak banjir pada populasi Inggris.
Dari studi-studi tersebut peneliti menemukan:
- Risiko masalah kesehatan mental jangka panjang yang dilaporkan hingga 9 kali lebih mungkin terjadi pada korban banjir dibanding mereka yang tidak mengalaminya.
- Tidak adanya peringatan banjir dan kedalaman air selama banjir merupakan faktor kunci yang memengaruhi kesehatan mental pada orang yang sakit.
- Orang-orang mengaku kehilangan rasa sebuah tempat dan keamanan serta mengalami kesedihan akibat hilangnya benda-benda yang membentuk sebuah rumah.
- Evakuasi dan rehousing sementara meningkatkan tekanan psikologis, kecemasan, depresi, dan PTSD.
PSTD memengaruhi lebih banyak korban banjir daripada kondisi kesehatan mental lainnya. Tingkat prevalensi yang dilaporkan antara 5,9% dan 27,9% untuk kecemasan, 7,1% dan 34,6% untuk depresi, serta 7,06% dan 43,7% untuk PTSD.
Baca Juga: Keguguran dapat Memicu PTSD, Seperti Orang Selamat dari Serangan Teroris!
"Dalam konteks populasi yang terkena banjir, ada kebutuhan untuk mempertimbangkan cara terbaik dalam memberikan perawatan psikologis yang tepat dan efektif dalam skala besar (terhadap korban)," kata Joana Cruz dari Departemen Lingkungan dan Geografi, Universitas York, melansir Medical Xpress.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa orang yang pernah menjadi korban banjir dapat mengalami kecemasan saat hujan deras.
Kecemasan tersebut dikaitkan dengan peningkatan tingkat stres, masalah tidur, serangan panik, kesulitan berkonsentrasi pada tugas sehari-hari, lesu, mimpi buruk, kemarahan, perubahan suasana hati, hingga peningkatan penggunaan alkohol atau antidepresan.
Tidak adanya peringatan banjir juga menigkatkan skor kecemasan dan PTSD dibanding pada korban yang telah diberi peringatan 12 jam atau lebih sebelumnya.
Baca Juga: Studi Chicago: Kabut Otak akibat Virus Corona Bisa Indikasi PTSD