Suara.com - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI memastikan industri farmasi tidak berpangku tangan setelah diterbitkannya izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (UEA), melainkan harus melakukan laporan rutin.
"Laporan yang perlu disampaikan adalah hasil monitoring penyaluran vaksin setiap 2 minggu sekali melalui sistem elektronik dan hasil pemantauan farmakovigilans secara aktif setiap bulan," tulis BPOM RI keterangan pers, Selasa (5/1/2021).
Namun apabila selama proses pendistribusian atau penyuntikkan vaksin, lalu ada penerima yang mengalami efek samping, perusahaan farmasi harus respon secepatnya dalam waktu 24 jam.
"Bahkan jika terjadi terjadi efek samping serius, perusahaan farmasi harus melapor dalam waktu 24 jam untuk menindaklanjuti masalah tersebut," terang BPOM lagi.
Baca Juga: Disiarkan Live, Jokowi Disuntik Vaksin Corona Pada 13 Januari
Tidak hanya perusahaan farmasi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Komite Nasional dan Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas dan Komda PP KIPI) juga diminta BPOM untuk merespon cepat apabila terjadi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).
Adapun prosedur penanganan KIPI akan dilaporkan masyarakat dan diterima tenaga kesehatan atau industri farmasi pemilik vaksin setelah vaksin beredar.
Ditambah berdasarkan pedoman organisasi kesehatan dunia atau WHO, surveilans aktif harus dilakukan jika terjadi Kejadian Ikutan dengan Perhatian Khusus (KIPK).
Sementara itu sebanyak 426 juta dosis vaksin diperlukan agar Indonesia bisa mencapai herd immunity atau kekebalan kelompok buatan dengan vaksin, yang disuntikkan kepada 181 juta orang dengan rentan umur 18 hingga 59 tahun.
Sebanyak 5 merek dagang vaksin akan digunakan di Indonesia, di antaranya Sinovac, Novavax, Covax/GAVI, AstraZeneca, dan Pfizer. Kedatangan lima merek vaksin ini akan diperjuangkan pemerintah bisa datang ke tanah air dalam kurun waktu 2020 hingga 2022 mendatang.
Baca Juga: EUA Vaksin Covid-19 Tak Kunjung Terbit, BPOM: Data Sedang Dianalisis