Suara.com - Presiden Joko Widodo secara resmi menekeni Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitas dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. Kebijakan ini ditandatangani pada 7 Desember 2020 lalu.
Tindakan kebiri dilakukan berdasarkan penilaian klinis oleh petugas berkompeten. Penilaian tersebut meliputi wawancara klinis dan psikiatri, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Selama ini, kebiri kimia disebut sebagai cara untuk mencegah terpidana pedofil untuk melakukan kekerasan atau pelecehan kepada anak.
Kebiri kimia menggunakan obat 'anafrodisiak' (zat kimia yang digunakan untuk menekan dorongan seksual), dengan pengobatan minimal tiga sampai lima tahun.
Baca Juga: Kekerasan Seksual Dunia Maya Terus Menghantui Perempuan Sumsel
Cara ini dapat dilakukan dengan mengonsumsi pil atau menyuntikkan obat ke tubuh seseorang yang akan menerimanya.
![](https://media.suara.com/pictures/653x366/2016/05/27/o_1ajof7s6019k0coj14gvul8123fa.jpg)
Prosedur medis ini tidak seperti pengebirian pada umumnya yang melibatkan pengangkatan organ intim, dan sterilisasi. Jadi, prosedur ini tidak permanen.
Melansir The Sun, beberapa obat yang umumnya digunakan adalah leupropelin, medroksiprogesteron asetat, siproteron asetat, dan Luteinizing hormone-releasing hormone (LHRH).
Apakah kebiri kimia efektif?
Dalam tinjauan medis pada 2005 di Journal American Academy of Psychiatry and the Law, peneliti mengatakan kebiri kimia mengurangi kadar testosteron dan memengaruhi penyimpangan seksual.
Baca Juga: Kekerasan Seksual Pada Anak Naik, Status KLA Bondowoso Perlu Dievaluasi
Sementara itu pada laporan di Journal Korean Medical Science pada 2013, menyadur New York Times, mengungkapkan kebiri kimia menghasilkan tingkat residivisme (kecenderungan untuk mengulangi tindak kejahatan serupa) yang sangat rendah meski ada faktor psikologis kuat yang berkontribusi pada pelanggaran seksual.
Namun, peneliti di Amerika Serikat dan negara lain menemukan bahwa tingkat residivisme jauh lebih rendah pada orang yang menjalani prosedur kebiri bedah, dibandingkan tahanan yang tidak menjalani prosedur tersebut.