Suara.com - Sejak 2015, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO sudah meluncurkan program Global Antimicrobial Resistance Surveillance System (GLASS) untuk mengatasi semakin meningkatnya angka resistensi antibiotik.
Resistensi antibiotik dikenal juga dengan Antimicrobial Resistance (AMR), yaitu keadaan di mana bakteri yang masuk ke tubuh sudah tidak bisa dimusnahkan atau diobati dengan antibiotik. Keadaan resistensi antibiotik bisa berbahaya, karena memicu penyebaran penyakit infeksi bakteri semakin parah dan meningkat, apalagi jika antibiotik tidak bisa lagi menghentikan bakteri yang berkembangbiak dalam tubuh.
Menurut Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KAPRA), dr. Harry Parathon Sp.OG (K), tingginya kekeliruan penggunaan antibiotik untuk mencegah Covid-19 di Indonesia, semakin meningkatkan angka resitensi antibiotik. Padahal Covid-19 tidak bisa dicegah oleh antibiotik, karena Covid-19 bukan disebabkan bakteri melainkan virus. Angka prevalensi resitensi antibiotik di Indonesia pada bakteri E. Coli dan K. Pneumonia (ESBL+), jumlahnya masih sangat tinggi, yakni 60,4 persen di 2019.
"Selama masa pandemi Covi-19 ini, pasien yang terpapar dan mengalami ko-infeksi bakteri sebesar 3 hingga 12 persen, dengan rata-rata 7 persen, sehingga penting bagi para tenaga kesehatan untuk benar-benar memastikan apakah pasien Covid-19 mengalami ko-infeksi bakteri," jelas dr. Harry berdasarkan siaran pers yang diterima suara.com, Rabu (3/12/2020).
Baca Juga: Bukan Obat Demam, Antibiotik Fungsinya Membunuh Kuman Jenis Tertentu
Tidak hanya itu, kata Harry, pengetahuan dokter juga harus selalu diperbaharui, khususnya terkait peresepan antibiotik kepada pasien yang seharusnya tidak boleh sembarangan, jika dirasa tidak darurat.
"Fasilitas laboratorium, pemeriksaan imaging dan pengetahuan dokter harus ditingkatkan, guna mendukung kebutuhan diagnosis, karena jika tidak ditingkatkan, pemakaian antibiotik dapat meningkat tajam," ungkap dr. Harry.
Sementara itu, perwakilan Perhimpunan Kedokteran Tropis dan Penyakit Infeksi Indonesia (PETRI), Dr. dr. Lie Khie Chen, Sp.PD, K-PTI mengakui penggunaan antibiotik pada pasien Covid-19 di Indonesia memang belum ada angka pasti. Tetapi pasien Covid-19 dengan kategori ringan pada umumnya tidak mengonsumsi antibiotik, sedangkan bagi pasien dengan kategori berat dan kritis sebanyak lebih dari 70 pasien menggunakan antibiotik.
Aturan pengendalian antibiotik sudah dikeluarkan melalui Perkemenkes No. 8 tahun 2015, yang mewajibkan setiap Rumah Sakit untuk memiliki tim Program Pengendalian Resistensi Antibiotik (PPRA) dan menerapkan program-program pengendalian antibiotik sebagai upaya mengurangi angka penggunaan antibiotik dan angka AMR di Indonesia.
Adapun di Indonesia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Pertanian (Kementan) jadi dua pihak yang berperan besar dalam Antimicrobial Stewardship Program (ASP), program di Indonesia untuk mengurangi angka resistensi antibiotik, dan mencegah tersebarnya bakteri yang resisten.
Baca Juga: Sembarangan Gunakan Antibiotik, Dampaknya Bisa Perparah Kondisi Penyakit
ASP berjalan sesuai dengan 5 pokok strategis GLASS program yang digulirkan WHO, di antaranya adalah meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap AMR, meningkatkan pengetahuan melalui surveilans dan riset, pencegahan dan pengendalian penyebaran infeksi, mengoptimalkan penggunaan antimikroba pada manusia dan hewan (ASP), dan investasi jangka panjang mendukung inovasi terapi baru (vaksin dan antibiotik), penemuan rapiddiagnostik, dan sistem tatalaksana infeksi.