Suara.com - International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) meluncurkan hasil studi selama 2020 berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Peneliti INFID, Arsa Ilmi Budiarti mengatakan, hasil studi kuantitatif ini menunjukkan bahwa ada sebanyak 70,5 persen responden setuju kalau RUU PKS diberlakukan.
"Namun 20,1 persen responden tidak setuju diberlakukan, tetapi mereka yang tidak setuju ini sebetulnya mereka masih ada yang belum pernah mendengar apa itu RUU PKS," ujar Arsa dalam pernyataannya secara virtual, Rabu (25/11/2020).
Lalu temuan selanjutnya mengenai pengalaman responden sebanyak 71,8 persen pernah mengalami kekerasan seksual. Menariknya, 30,3 persen korban kekerasan seksual adalah laki-laki.
Baca Juga: Kasus Terus Meningkat, Kemen PPPA Dukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Dengan begitu, RUU PKS ini jadi bukan diperuntukan hanya perempuan tapi juga buat laki-laki, agar semua pihak dapat terlindungi.
Hasil lainnya juga 65,1 persen responden yang mengalami pelecehan seksual mengaku ternyata pelaku yang melakukannya adalah orang terdekat dan kejadiannya paling banyak di tempat umum dan di rumah, dan 57,3 persen responden yang menjadi korban tak melapor karena takut dan malu.
Kemudian, hukuman yang tepat bagi pelaku kekerasan seksual 87 persen responden menganggap harus diberi hukuman berat dengan dimasukan penjara selama 10-15 tahun. Dan, harus ada denda dan ganti rugi serta perlu dilakukannya rehabilitas.
"Kesimpulannya mengingat ini sudah sangat berbahaya, maka persetujuan RUU PKS untuk segera diberlakukan karena sudah banyak korban yang mengalami kekerasan seksual dan ini perlu diperhatikan oleh semua pihak," tegas dia.
Sementara itu, Asisten Deputi Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Kemen PPA) RI, Ali Hasan mengapresiasi hasil dari studi yang dilakukan pihak INFID.
Baca Juga: Dipecat Gereja, Pendeta Suarbudaya Harus Keluar dari Sekretariat GKA
Menurutnya, kekerasan seksual memang merupakan kejahatan yang paling serius buat anak dan wanita.
Bahkan, kasus kekerasan seksual masih minim adanya tindakan dari berbagai pihak dalam menyikapi kekerasan seksual tersebut.
"Harapannya komitmen pemerintah bisa cepat mengesahkan RUU kekerasan seksual. Ini perlu dijadikan urgensi untuk segera dibahas dan diberlakukan," jelas dia.
Menanggapi hal itu, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Hendrik Lewerissa menerangkan bahwa belum adanya tindakan dari pihak legislatif karena RUU PKS ini belum menjadi prioritas yang perlu dibahas di tahun ini.
Sedangkan, soal studi yang dilakukan INFID, Hendrik lebih menyarankan mereka perlu ada upaya untuk melakukan jajak pendapat dengan menyurat kepada DPR RI, meminta rapat dengan badan legislasi agar bisa memaparkan hasil studi yang sudah dilakukan tersebut.
"Sejatinya kami telah menyepakati ada RUU prioritas saat itu, jadi rancangan UU kekerasan seksual ini kami drop sementara waktu dan itu merupakan kesepakatan bersama. Kendati begitu, prosesnya kini berlanjut dan diharapkan RUU PKS ini dapat diselesaikan tahun 2021," tuturnya.