Suara.com - Pemerintah memastikan telah memberi lampu hijau kegiatan belajar tatap muka per Januari 2021 nanti. Keputusan pembukaan sekolah akan diserahkan kepada pemerintah daerah (Pemda), yang dianggap mampu menilai kondisi pandemi Covid-19 di wilayahnya.
Nantinya Pemda yang ingin membuka sekolah juga harus mendapatkan persetujuan pihak sekolah dan para orangtua. Sedangkan para orangtua juga berhak memilih akan membiarkan anaknya tetap ikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau tetap belajar tatap muka di sekolah.
Menanggapi ini, Konsultan respirologi anak dari Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Nastiti Kaswandani, Sp.A(K), mengingatkan orangtua untuk hati-hati mengambil keputusan.
"Orangtua harus bisa menilai kalau menurut saya, kesiapan sekolahnya bagaimana, terutama dia kriteria epidemiologisnya dibaca di daerah sekolahnya apa," ujar dr. Nastiti saat dihubungi Suara.com, Jumat (20/11/2020).
Baca Juga: Sekolah Kembali Dibuka Januari, Menkes Terawan Minta Pemda Hati-Hati
Kriteria epidemiologi yang dimaksud bukan hanya sebatas status zona hijau, kuning atau merah di sekolah anak. Namun juga melihat angka kasus infeksi Covid-19 di daerah tersebut. Jika jumlah kasusnya sedikit, lihat lagi case fatality rate atau risiko kematian kasus Covid-19 di wilayah tersebut
Misalnya ditemukan hanya 10 kasus Covid-19 di wilayah sekolah, tapi jumlah yang meninggal 5 orang. "Karena bisa jadi, kasusnya sedikit karena tes yang dilakukan juga sedikit," terang dr. Nastiti.
Itu artinya risiko kematian kasus Covid-19 di wilayah tersebut cukup besar yakni 50 persen. Berikut beberapa hal yang harus diperhatikan orangtua sebelum membiarkan anak sekolah tatap muka:
1. Lihat kesiapan sekolah
Sebelum mengambil keputusan orangtua perlu lihat kesiapan sekolah untuk membuka kegiatan belajar tatap muka. Misalnya protokol kesehatan yang dijalankan, fasilitas cuci tangan, hingga luas sekolah dan ruangan belajar mengajar.
"Kalau sekolahnya luas, di dalam sekolah bisa cukup longgar, itu cukup ideal, misalnya ada sekolah-sekolah yang cukup sedikit isi anaknya, itu masih bisa dimungkinkan. Orangtua harus bisa menilai kondisi kesiapan sekolahnya," jelas dr. Nastiti.
Baca Juga: Sekolah Dibuka Kembali, Bolehkah Tetap Memilih PJJ atau Kelas Online?
2. Perhatikan kondisi anak
Sebelum mengirimkan anak ke sekolah, pastikan anak sudah mampu membekali dirinya untuk tidak tertular Covid-19. Biasanya anak dengan usia lebih kecil sangat sulit patuh terhadap protokol kesehatan.
Orangtua juga harus mampu menilai dan melatih anak untuk menjalankan protokol kesehatan di rumah dalam mengadaptasi kebiasaan baru. Jika anak belum mampu sebaiknya, orangtua biarkan anak tetap belajar dari rumah atau PJJ.
"Misalnya anaknya tahan berapa lama pakai masker di rumah, bisa gak dia mempraktikkan untuk selalu mencuci tangan jaga jarak. Dan paling penting anak itu punya masalah kesehatan atau tidak," tutur dr. Nastiti.
"Kalau kiranya anak itu punya masalah kesehatan yang cukup serius. Ya sebaiknya PJJ nya dilanjutkan saja," sambungnya.
3. Belajar di sekolah berdasarkan shifting atau bergillir
Praktik ini sudah diterapkan di berbagai perkantoran besar, yaitu tidak 100 persen karyawan harus hadir ke kantor, tapi hanya sebagian saja sedang sisanya melakukan pertemuan secara virtual atau online.
Ini juga yang bisa diterapkan di sekolah, apabila di sekolah tidak memungkinkan untuk mengatur jaga jarak. Sehingga tidak semua siswa bersekolah tatap muka, tapi dilakukan secara bergilir.
"Supaya ketika anaknya sudah cenderung depresi karena kelamaan di rumah, oke dia pilih offline dengan protokol kesehatan. Tetapi kalau justru orangtua dan anaknya insekyur datang ke sekolah dia punya opsi online, itu yang ideal," jelasnya.
"Harusnya memang idealnya, kalau pemerintah bilang terserah orangtua, berarti dia juga harus menyedihkan sarana untuk memilih," tutup dr. Nastiti.