Dari Singkong Hingga Sagu, Pakar Ungkap Manfaat Pangan Lokal Selama Pandemi

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Minggu, 15 November 2020 | 17:49 WIB
Dari Singkong Hingga Sagu, Pakar Ungkap Manfaat Pangan Lokal Selama Pandemi
Ilustrasi singkong kupas. (Pixabay/Dian A. Yudianto)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pangan lokal disebut menjadi kunci utama mencegah kerentanan makanan selama pandemi COVID-19.

Dilansir ANTARA, para pengamat yang mewakili pemerintah dan lembaga swasta sepakat, mengoptimalkan berbagai sumber pangan lokal yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan, geografis dan pola masyarakat setempat bisa mengatasi kerentanan sistem pangan akibat pandemi COVID-19 dan perubahan iklim.

Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) dari Kementerian Pertanian, Dr. Ir. Agung Hendriadi mengatakan, pemerintah daerah bisa berkoordinasi dengan pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan yang disesuaikan dengan kebudayaan pangan lokal daerah seperti ubi kayu, jagung, sagu, pisang, kentang dan sorgum.

"Tiap-tiap provinsi terbiasa mengkonsumsi komoditas karbohidrat non-beras tertentu. Kita tinggal mendorong bagaimana meningkatkan produksi komoditas ini dan mengolahnya sehingga bisa dikonsumsi secara masif," ujar Agung dalam siaran persnya, Minggu.

Sekretaris Jenderal UCLG ASPAC, Dr. Bernadia Irawati Tjandradewi mencatat, selama pandemi, Indonesia menghadapi sederet tantangan terkait pangan, mulai dari distribusi pangan antar daerah, nilai tukar petani yang menurun, perubahan pola harga pangan akibat panic buying, hambatan distribusi bibit dan pupuk karena pembatasan sosial, serta penurunan beberapa harga komoditas pertanian.

"Distribusi pangan yang belum merata di Indonesia juga dikhawatirkan akan menyebabkan kelebihan atau kekurangan komoditas pangan di sejumlah daerah, yang terdampak secara logistik akibat pandemi maupun perubahan iklim. Peran pemerintah daerah dalam menjaga ketahanan pangan dapat dilakukan melalui urban farming, diversifikasi pangan yang mengurangi ketergantungan pada beras, serta monitoring ketahanan pangan dan harga pangan daerah," kata dia dalam siaran persnya, Minggu.

Agung mencatat, dalam dua bulan pertama pandemi misalnya, indeks ketahanan pangan Indonesia sempat turun menjadi 40,10 dari sebelumnya 44,10.

Menurut dia, ada kekagetan dari masyarakat yang mengurangi konsumsi pangan mereka. Tetapi hal sebaliknya terjadi pada April hingga Agustus yang ditandai adanya peningkatan indeks ketahanan pangan.

Di sisi lain, ada pendapat yang menyatakan impor bukan solusi menjaga ketahanan pangan.

Baca Juga: Kisah Pengrajin Kayu, Tak Harapkan Untung di Tengah Pandemi

Menurut Ketua SDGs Network dari Institut Pertanian Bogor, Dr. Bayu Krisnamurthi, ketergantungan pada impor justru akan membahayakan jika terjadi krisis (pandemi) berkepanjangan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI