Suara.com - Menurut laporan CDC, masalah aneurisme aorta atau diseksi aorta telah menyebabkan 9.923 kematian pada 2018. Diseksi aorta sendiri merupakan kondisi sobekan di lapisan dalam pembuluh darah besar yang keluar dari jantung.
Menurut National Center for Biotechnology Information, insiden terjadinya diseksi aorta adalah 5-30 kasus per satu juta orang, dengan rentang usia 40 hingga 70 tahun.
Masalah diseksi aorta bisa terjadi secara tiba-tiba (akut) dan tidak menimbulkan gejala. Tapi jika dalam dua hingga tiga jam tidak segera dioperasi, penderita dikhawatirkan bisa meninggal dunia.
Lalu apa saja faktor penyebab diseksi aorta?
Baca Juga: Awas, Cegukan Terus-menerus Bisa Jadi Gejala Serangan Jantung
Dikutip dari siaran pers Heartology Cardiovascular Center Brawijaya Hospital Saharjo, ada beberapa faktor penyebab diseksi aorta antara lain riwayat keluarga, hipertensi, naiknya tekanan darah secara mendadak, riwayat aneurisme aorta, artherosklerosis ataupun kelainan genetic senperti sindroma Marfan.
Berdasar kondisinya, ada dua jenis diseksi aorta yaitu diseksi aorta tipe A dan tipe B. Diseksi aorta tipe A disebut sangat berbahaya sebab bagian aorta yang robek ada pada pangkal yang menempel ke serambi jantung atau yang disebut dengan aorta asendens.
Berbeda dengan diseksi aorta tipe B yang umumnya bisa diatasi dengan obat atau dengan intervensi endovaskular, diseksi aorta tipe A perlu diperbaiki dengan cara operasi.
"Mengganti aorta asendens arch tak semudah mengganti katup atau pembuluh darah koroner. Sebab, untuk menggantinya, kondisi pembuluh darah tersebut harus benar-benar bersih dari darah. Dengan demikian, ahli bedah bisa melihat dengan jelas seberapa panjang yang perlu diganti," kata dr. Suko Adiarto, Dp.JP (K), PhD dari Heartlogy Cardiovascular Center.
Selama proses ioperasi, suhu badan pasien mulai diturunkan secara perlahan hingga mencapai titik nyaris terendah bagi seorang manusia yakni 24 sampai 26 derajat celsius.
Baca Juga: Kabar Bahagia, Pecinta Pedas Memiliki Risiko Kematian Lebih Kecil!
Penurunan suhu badan dimaksudkan untuk mengurangi aktivitas otak. Dengan aktivitas yang rendah, otak tak membutuhkan banyak darah.
"Setelah suhu mencapai derajat yang dibutuhkan, darah pun mulai dikuras dari tubuh. Artinya, aliran darah ke liver, ginjal, paru, apalagi jantung, usus, dan otot dihentikan," tambahnya.
Ia menekankan bagaimana aliran darah ke otak tetap tidak boleh ikut berhenti. Jika sampai terhenti total, pasien berisiko mengalami koma hingga meninggal dunia. Kata Suko, detik-detik selama tubuh tidak dialiri darah merupakan bagian paling menegangkan dan berisiko selama operasi berlangsung.
"Penghentian aliran darah ini tidak boleh lebih dari 40 menit. Kalau bisa lebih cepat dari itu sangat baik. Dalam rentang tersebut, dokter bedah akan menjahit aorta asendens yang koyak, memotong aorta arch dan menggantinya dengan graft."
Saat semua proses pembenahan bagian yang robek selesai, tim dokter harus kembali menghangatkan suhu badan pasien. Aliran darah harus dikembalikan sebagaimana mestinya.
Sebagian darah yang digunakan dalam operasi adalah darah pasien sendiri, dengan menggunakan alat yang disebut cell saver. Alat tersebut mampu menampung pendarahan yang terjadi selama operasi. Kemudian darah kembali diolah dan dimasukkan kembali ke tubuh pasien.
"Itulah sebabnya, seluruh proses operasi tersebut memakan waktu hingga delapan jam," tambahnya.
Pascaoperasi, tim dokter masih harus memerhatikan pasien dengan sangat cermat. Sebab, masalah pendarahan atau stroke dan risiko lainnya akibat proses pembekuan bisa muncul setelah operasi.
"Operasi Bentall, seperti operasi aorta lainnya, termasuk salah satu operasi tersulit di dunia, sehingga memerlukan banyak persiapan. Keahlian tim dokter, tim pendukung dan ketersediaan teknologi merupakan kunci keberhasilan operasi," tutup Suko.