Suara.com - Indonesia menempati posisi kedelapan dalam kasus perkawinan anak terbanyak di dunia.
Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sebanyak 11.2 persen atau sekitar 668.900 perkawinan anak ada di Pulau Jawa, sementara di luar Jawa mencapai 415.200 anak.
"Tentu ini perlu menjadi perhatian serius untuk menurunkan tingkat pernikahan remaja," ujar Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo pada acara webinar ‘Kesehatan Reproduksi dan Kelahiran Usia Remaja’, Rabu (4/11/2020).
Menurutnya, perkawinan anak merupakan bencana nasional. Itu terjadi karena perkawinan anak memiliki dampak negatif seperti tingginya kasus kematian ibu, kematian bayi, kurang gizi pada anak, juga berdampak pada ekonomi.
Baca Juga: Hari Kontrasepsi Sedunia, BKKBN Targetkan Edukasi Bagi Perempuan Petani
"Kita tahu akibat pernikahan anak ini akan berdampak pada aspek sosial, ekonomi, dan aspek kesehatan. Seperti bayi akan lahir prematur karena ibunya belum siap, hingga anak bisa akan mengalami stunting," jelas dia.
BKKBN mencatat, angka perkawinan anak atau remaja hampir mendekati dua juta yang terdaftar setiap tahunnya. Dan dari waktu ke waktu, angka perceraian mengalami peningkatan hingga berisiko menyebabkan masalah baru yaitu masalah anak terlantar.
Hasto juga menambahkan bahwa perkawinan anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak dan merupakan praktik yang melanggar hak-hak dasar anak.
"Bagi kami ini terjadi karena anak-anak remaja kurang mengerti tentang pendidikan kesehatan reproduksi di usia tersebut. Jadi, usul kami dari BKKBN maka pendidikan kesehatan reproduksi penting bagi remaja dimasukan sebagai ekstrakuler di sekolah, namun secara terkontrol," tutupnya.
Baca Juga: Sisi Lain Dampak Pandemi Covid-19: Tingginya Angka Pernikahan Anak