Suara.com - Selama pandemi Covid-19 ini, isu tuberkulosis (TBC) kurang menjadi perhatian. Padahal kasus penyakit ini juga mengalami dampak besar dan berbahaya.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019, Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga di dunia dengan kasus TBC yang tinggi, setelah India dan China.
WHO mencatat, kasus TBC di Indonesia mencapai 845 ribu, dan 24 ribu dari jumlah tersebut adalah kasus resisten obat.
Selain itu, terdapat pula penurunan laporan secara drastis dibanding tahun lalu pada periode yang sama, yaitu Maret hingga Juni. Artinya, banyak penderita TBC yang tidak diterdeteksi atau tidak diobati.
Baca Juga: Bisa Deteksi TBC, Ilmuwan Belgia Juga Latih Tikus Mengendus Virus Corona
Senior Program Manager Stop TB Partnership Indonesia (STPI), Lukman Hakim, menyebut Organisasi Masyarakat Sipil TB (tuberkulosis) memiliki peran strategis dalam pencegahan dan pengendalian penyakit TBC di Indonesia.
"Dengan adanya organisasi masyarakat ini, mereka sangat memahami kebutuhan orang dengan TB, karena orang yang terlibat dalam ormas ini sebagian penyintas TB," ujar Lukman, dalam diskusi daring "Tuberkulosis di Tengah Pemberitaan Covid-19", Jumat (23/10/2020).
"Oleh karena itu, mereka bisa masuk dengan lebih enak pada mereka yang mendapat stigmatisasi dan marginalisasi," sambungnya.
Menurutnya, ini adalah peran yang kemungkinan tidak dapat dilakukan oleh pemerintah, sehingga ormas sipil ini memiliki peran penting.
Selain itu, ia menambahkan, organisasi sipil dapat masuk ke dalam lingkungan penderita TBC karena semangat kerelawanan mereka yang tinggi.
Baca Juga: Pemerintah Pertimbangkan Para Penderita TBC Diberi Bantuan Sosial
"Kerelawanan yang tinggi itulah yang menjadi modal besar bagi organisasi masyarakat sipil untuk berkontribusi." lanjutnya.
Lukman menggarisbawahi bahwa tiga peran kunci dari Organisasi Masyarakat Sipil TB adalah advokasi kebijakan TBC, pendampingan dan layanan pasien, serta pengembangan pengetahuan masyarakat terkait penyakit paru-paru ini.