Suara.com - Salah satu upaya untuk menurunkan jumlah kasus demam tifoid, atau biasa dikenal masyarakat sebagai penyakit tipes, adalah dengan menjaga kebersihan lingkungan dan memastikan ketersediaan air bersih. Namun pada daerah endemis dengan resistansi antibiotik tinggi, upaya ini tidak terlalu berdampak signifikan. Di sini, vaksinasi memegang peranan penting.
Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhi. Dari 14,3 juta kasus demam tifoid dan paratifoid di dunia, 12,6% terjadi pada anak-anak di bawah usia 5 tahun dan 55,9% pada anak-anak di bawah usia 15 tahun. Insiden tertinggi demam tifoid ditemukan pada daerah dengan angka kemiskinan tinggi, padat penduduk, dan sanitasi buruk.
Vaksin Vi-DT atau vaksin konjugat tifoid yang diproduksi PT Bio Farma terbukti aman dan efektif diberikan bagi anak-anak berusia 2-11 tahun. Hasil ini didapat dari sebuah uji klinis fase 2 yang dilakukan bersama antara FKUI-RSCM, PT Bio Farma, dan International Vaccine Institute Seoul.
Melalui penelitian ini, vaksin Vi-DT terbukti dapat meningkatkan titer antibodi 28 hari pascavaksinasi sebesar 4 kali lipat atau lebih.
Baca Juga: Sebelum Dinyatakan Positif Covid-19, Menhub Budi Sempat Didiagnosis Tifus
Penelitian ini telah dipublikasikan pada jurnal BMC Pediatrics bulan Oktober 2020. Tim peneliti dari FKUI-RSCM terdiri atas sejumlah staf Departemen Ilmu Kesehatan Anak, yaitu dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A(K), MPH; Prof. Dr. dr. Soedjatmiko, Sp.A(K), M.Si; Dr. dr. Hartono Gunardi, Sp.A(K); Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A(K); Prof. Dr. dr. Hindra Irawan Satari, Sp.A(K); Prof. Dr. dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K); dan dr. Angga Wirahmadi, Sp.A.
Para peneliti dari FKUI-RSCM ini bekerja sama dengan dr. Mita Puspita; dr. Rini Mulia Sari; dr. Novilia Sjafri Bachtiar, M.Kes dari PT Bio Farma dan Jae Seung Yang, Ph.D.; dr. Arijit Sil, DA; Dr. Sushant Sahastrabuddhe, MBBS, MPH, MBA dari International Vaccine Institute, Seoul.
Pada penelitian ini, 200 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu berusia 2-11 tahun dan telah menandatangani lembar informed consent, dibagi menjadi 2 kelompok sama besar secara acak. Kelompok pertama menerima vaksin Vi-DT dan kelompok kedua menerima vaksin Vi-polysaccharide (Vi-PS).
Vaksin Vi-PS, sebagai vaksin tifoid berlisensi di Indonesia, berperan sebagai kontrol dalam penelitian ini. Untuk menghindari bias, peneliti tidak mengetahui pengalokasian kelompok subjek (observer-blind).
Mereka yang memiliki riwayat demam tifoid (dikonfirmasi dengan pemeriksaan kultur darah atau rapid test), sudah mendapat vaksinasi untuk demam tifoid sebelumnya atau vaksinasi apapun dalam kurun waktu 1 bulan tidak diikusertakan dalam studi. Subjek juga tidak boleh dalam keadaan demam (suhu ketiak ≥ 37,50C), punya sakit kronis, memiliki riwayat alergi terhadap komponen vaksin, atau sedang mengonsumsi obat-obatan yang memengaruhi sistem imun.
Baca Juga: BAB Cair Terus Menerus, Apa Penyebabnya?
Sebelum vaksin disuntikkan, sampel darah setiap subjek diambil untuk memastikan kriteria penelitian terpenuhi. Setiap subjek diminta untuk memantau dan mencatat efek samping yang mungkin timbul selama 28 hari pascavaksinasi. Lalu pada hari terakhir, sampel darah setiap subjek diambil kembali untuk mengukur titer antibodi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, efek samping yang ditimbulkan kedua vaksin ini sama. Nyeri di daerah suntikan dan kemerahan menjadi efek samping yang umum ditemukan sampai dengan 24 jam pascavaksinasi.
Namun, pada hari ke 3 sampai 28 pascavaksinasi, efek samping sistemik seperti demam dan nyeri otot lebih tinggi dialami kelompok Vi-PS. Walaupun begitu, demam ini akan sembuh dalam kurun waktu 48 jam tanpa ada komplikasi apapun.
Berkaitan dengan kemampuan vaksin memicu respons imun tubuh atau tingkat imunogenisitas, kelompok subjek yang mendapat vaksin Vi-DT menunjukkan hasil lebih baik dibandingkan dengan kelompok subjek yang mendapat vaksin Vi-PS. Antibodi 28 hari pascavaksinasi pada semua subjek di kelompok vaksin Vi-DT (100%) meningkat 4 kali lipat atau lebih dari nilai awal. Sementara pada kelompok vaksin Vi-PS, peningkatan antibodi 28 hari pascavaksinasi sebesar 4 kali lipat atau lebih hanya terjadi pada 93% subjek.
Selain bagi kelompok usia 2-11 tahun, vaksin Vi-DT juga terbukti aman dan efektif diberikan untuk anak-anak usia 6 bulan sampai 2 tahun. Hal ini tentu sangat membantu, apalagi mengingat belum ada vaksin tifoid berlisensi di Indonesia untuk anak-anak di bawah usia 2 tahun.
Melihat hasil uji klinisnya, keberadaan vaksin Vi-DT ini diharapkan mampu memberikan perlindungan yang lebih baik bagi bayi dan anak-anak dibandingkan vaksin tifoid sebelumnya.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, MMB menyatakan apresiasinya kepada para peneliti studi ini. Ini menjadi contoh bahwa bagaimana vaksin harus melalui uji klinik dan hasilnya dipublikasi di jurnal internasional.
“Demam tifoid merupakan suatu penyakit yang tidak boleh dianggap remeh, apalagi di Indonesia, demam tifoid termasuk salah satu penyakit endemis. Di negara endemis, peningkatan variasi genetik bakteri yang resisten terhadap antibiotik banyak ditemukan, padahal kita tahu bahwa antibiotik merupakan obat utama untuk demam tifoid. Penyakit ini jika tidak segera ditangani dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Oleh karena itu, langkah terbaik yang dapat kita lakukan adalah pencegahan. Selain menjaga sanitasi lingkungan dan menjaga ketersediaan air bersih, vaksinasi menjadi salah satu langkah efektif dalam mencegah demam tifoid,” ujar Prof. Ari.