Peneliti Indonesia Dorong Pemerintah Tetapkan Regulasi Rokok Elektrik

Rabu, 21 Oktober 2020 | 22:44 WIB
Peneliti Indonesia Dorong Pemerintah Tetapkan Regulasi Rokok Elektrik
Ilustrasi rokok elektrik (Shutterstock).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Stigma terhadap rokok elektrik di Indonesia masih sangat tinggi. Pasalnya, bukannya menurunkan angka perokok, rokok elektrik justru menambah orang dewasa yang awalnya tidak merokok menjadi perokok elektrik. Ditambah lagi minimnya penelitian dalam negeri terkait produk alternatif tembakau.

Peneliti Indonesia dari Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Amaliya, menemukan jika rokok elektrik atau tembakau yang dipanaskan punya risiko kesehatan jauh lebih rendah dibanding rokok konvensional. Kesimpulan ini juga diambil dari Public Health England dan German Federal Institute for Risk Assessement (BfR) yang menyimpulkan hal serupa. Ini karena kedua produk alternatif itu tidak melalui proses pembakaran.

"Pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan lainnya harusnya terbuka dengan fakta ini dan mendorong kajian ilmiah lokal. Pemerintah bisa meniru Inggris dan Jepang yang terbuka terhadap kajian ilmiah dan mendukung penggunaan produk tembakau alternatif untuk menurunkan angka perokoknya,” kata Amaliya melalui rilisnya yang diterima suara.com, Rabu (21/10/2020).

Amaliya juga memaparkan penelitian dari luar negeri yang dilakukan UK Committee on Toxicology (COT), bagian dari Food Standards Agency, menyimpulkan secara positif bahwa produk tembakau yang dipanaskan mengurangi bahan kimia berbahaya sebesar 50 hingga 90 persen daripada rokok.

Inggris dan Jepang pun tercatat telah berhasil menurunkan angka perokok. Berdasarkan Badan Statistik Inggris, angka perokok turun dari 14,4 persen pada 2018 lalu menjadi 14,1 persen atau setara dengan 6,9 juta perokok pada 2019. Penggunaan produk tembakau alternatif di Inggris telah mendorong 20.000 perokok berhenti merokok setiap tahunnya.

Sedangkan di Jepang, menurut hasil survei Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, angka perokok lelaki turun di bawah 30 persen untuk pertama kalinya menjadi 28,8 persen pada 2019 lalu.

Angka perokok perempuan turut berkurang 0,7 poin menjadi 8,8 persen. Adapun angka perokok dewasa laki-laki di Korea Selatan mencapai rekor terendah sebesar 38,1 persen pada 2017 lalu.

Baca Juga: Rokok Elektrik Diklaim Lebih Rendah Risiko Kanker, Ini Jawaban Ahli

Sederet riset ini jadi penting agar masyarakat yang ingin berhenti merokok mendapatkan informasi yang utuh dan tidak simpang siur. Sehingga pemerintah juga bisa memperjelas kebijakan terkait produk tembakau alternatif

“Tanpa adanya riset yang menyeluruh, publik, terutama perokok dewasa, akan terus mendapatkan informasi yang keliru sehingga enggan untuk beralih ke produk minim risiko kesehatan ini,” kata Amaliya.

Regulasi yang ditetapkan Indonesia juga harus spesifik, terpisah, dan berbeda dengan aturan rokok konvensional. Dengan begitu, perokok dewasa akan termotivasi untuk beralih menggunakan produk tembakau alternatif.

Regulasi juga diperlukan agar rokok elektrik tidak mudah diakses anak di bawah umur 18 tahun, dan tidak menambah jumlah perokok anak, yang membuat Indonesia dicap sebagai salah satu negera dengan jumlah perokok terbanyak. Regulasi atau tata cara pemasaran dan pengawasan harus diperjelas.

"Untuk mencegah penyalahgunaan, regulasi ini juga perlu mengatur batasan usia pengguna agar anak-anak di bawah usia 18 tahun dan non-perokok tidak dapat mengonsumsinya," katanya.

Baca Juga: Hasil Studi: Penggunaan Vape Bisa Menyebabkan Masalah Jantung

“Harapannya, dengan dilandasi kajian ilmiah, pembentukan regulasi secara proporsional dan menyeluruh dapat membantu memanfaatkan potensi produk ini, dan yang lebih penting meluruskan stigma yang berkembang selama ini,” tutup Amaliya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI