Suara.com - Terlepas dari dampak buruknya kegiatan merokok konvensional yang menghasilkan TAR atau zat pembakaran penyebab kanker, ternyata elemen nikotin atau zat adiktif pada rokok bisa digunakan untuk pengobatan medis.
Mengutip Dailymail, Selasa (20/10/2020), penelitian menunjukkan orang yang mengonsumsi lebih banyak nikotin bisa berguna untuk mengobati penyakit gangguan otak seperti attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), demensia dan skizofrenia, bahkan termasuk Covid-19.
Tapi jangan langsung buru-buru ingin merokok, ya. Pasalnya, nikotin yang digunakan dalam penelitian ini bukanlah yang berasal dari rokok, melainkan zat nikotin yang ada di tomat, paprika, dan terong. Ketiga makanan ini mengandung nikotin, dan mereka yang banyak mengonsumsinya punya peluang 30 persen lebih rendah terkena parkinson.
Penelitian lain yang dilakukan Psifarmakologi Universitas Newcastle, melakukan pengembangan metode pengobatan berbasis nikotin, yang diharapkan ampuh memperbaiki motorik yang rusak dan memori hilang akibat parkinson.
Baca Juga: Nikotin Bisa Bertahan Berminggu-minggu di Dalam Tubuh, Apa Faktornya?
Studi lainnya di AS juga menunjukkan bahwa reseptor atau pintu masuk nikotin ke dalam sel, mampu meningkatkan jumlah kalsium yang masuk ke dalam tulang, dan mampu mencegah pengeroposan tulang akibat parkison.
Nikotin memang jadi salah satu zat kontroversial untuk dijadikan obat, mengingat risiko zat ini bisa membuat pemakainya ketagihan sebagai efek samping. Padahal faktanya, zat ini cukup potensial untuk alzheimer dan skizofrenia.
"Harapan hidup pasien meningkat berkali-kali lipat, sehingga saya tidak heran jika beberapa senyawa nikotin digunakan beberapa farmasi dalam 'obat emas' mereka, tapi kami tidak bisa sembarangan mengaksesnya," ujar Dr Mohammed Shoaib, Kepala Kelompok Penelitian Psikofarmakologi, Universitas Newcastle.
Dr. Shoaib juga menyoroti temuan penelitian yang mendapati jika perokok cenderung terlindungi dari Covid-19, di mana risiko tertular berhasil ditekan hingga 80 persen. Tapi sayangnya, jika mereka sudah tertular, mereka bisa mengalami gejala yang lebih parah.
Hal ini sejalan dengan temuan Profesor Konstantinos Farsalinos dari Ilmu Kesehatan Masyaraka, Universitas Patras, Yunani, yang menemukan meski China sebagai negara dengan perokok tertinggi dunia, tapi perokok yang dirawat akibat Covid-19 sangat sedikit yang masuk rumah sakit.
Baca Juga: Sampai 3 Minggu, Berikut Berapa Lama Nikotin akan Terdeteksi dalam Tubuh!
"Kami pikir itu mungkin akibat dari nikotin," terang Profesor Konstantinos Farsalinos kepada media beberapa waktu lalu.