Bukan Hanya Buruh, Sektor Kesehatan Juga Terdampak Berat UU Cipta Kerja

Jum'at, 09 Oktober 2020 | 20:50 WIB
Bukan Hanya Buruh, Sektor Kesehatan Juga Terdampak Berat UU Cipta Kerja
Ilustrasi perawat (Unsplash)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tidak hanya mengecewakan dari sisi sosial tapi juga dari sisi kesehatan, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) secara lantang menyebut jika UU Cipta Kerja Omnibus Law melemahkan penanganan pandemi Covid-19.

CISDI adalah organisasi yang fokus pada isu pembangunan kesehatan dan penguatan layanan kesehatan primer di Indonesia.

UU cipta kerja ini dinilai tidak hanya merugikan buruh dan pekerja tapi juga mengancam kualitas, jaminan, keselamatan dan keamanan tenaga kesehatan, ditambah sulitnya perizinan usaha di sektor kesehatan yang berisiko timbulkan backlog atau sederetan masalah yang belum tertangani di masa pandemi Covid-19.

Direktur Kebijakan CISDI Olivia Herlinda mengaku sudah memperlajari draft dokumen RUU Cipta Kerja dan berbagai perkembangan dokumen baru yang beredar ke publik.

Baca Juga: Jokowi Klaim UU Cipta Kerja Tak Komersialisasikan Pendidikan

"Dari yang kami pelajari, kami memiliki kekhawatiran bahwa Undang-Undang Cipta Kerja mempermudah perusahaan alih daya (outsourcing) melalui penetapan upah minimum per jam," terang Olivia berdasarkan keterangan yang diterima Suara.com, Jumat (9/10/2020).

Saat outsourcing diterapkan, menurut Olivia yang terjadi adalah minimnya pengusaha atau sebagai pemberi kerja untuk membayar jaminan sosial, ketenagakerjaan termasuk di dalamnya jaminan kesehatan kepada karyawannya, dan itu juga berlaku pada tenaga medis.

"Dengan demikian, pilar sistem kesehatan nasional di masa pandemi bisa menjadi semakin lemah akibat minimnya jaminan terhadap keamanan, keselamatan, dan kesejahteraan tenaga kesehatan," ujar Olivia.

Olivia juga membaca bagaimana UU yang juga disebut UU Cilaka itu mengharuskan fasilitas kesehatan meminta izin satu pintu kepada pemerintah pusat, yakni izin secara online (OSS) yang berada di bawah kendali Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Lantas, bukannya mempercepat perizinan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat untuk mendapat penanganan dan pengobatan dengan sigap, tapi hanya menimbulkan antrian saat keputusan harus diambil oleh satu pintu.

Baca Juga: Habib Rizieq Tolak UU Cipta Kerja, Singgung Tenaga Kerja Berpaham Komunis

"Karena belum jelasnya bagaimana alur koordinasi dilakukan, ini juga mengkhawatirkan karena berpotensi dilewatinya proses kajian teknis mendalam oleh K/L teknis yang berwenang dan memiliki keahlian, hanya demi mempercepat ijin berusaha," tambah Olivia.

Hingga saat ini, CISDI masih terus mendalami Undang-undang Cipta Kerja serta dampak yang ditimbulkan langsung terhadap sederet UU yang menggatur kesehatan, seperti UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit, UU No. 35/2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No. 18/2012 tentang Pangan.

"Selain tujuh undang-undang di atas, ada indikasi UU Cipta Kerja berdampak pada UU Tenaga Kesehatan dan UU Pendidikan Dokter. Namun kami masih terus mendalami UU Cipta Kerja selagi menunggu dokumen versi final dari DPR RI. Kami juga masih terus berkonsultasi dengan teman-teman hukum untuk memastikan tidak ada interpretasi yang salah sehingga kita dapat melakukan tindak lanjut dengan tepat sesuai kebutuhan," tutup Olivia.

Alih-alih mengurusi UU cipta kerja yang terkesan diburu-buru padahal menyangkut hajat hidup orang banyak dan memiliki permasalahan yang kompleks. Seharusnya pemerintah dan DPR-RI fokus menangani pandemi Covid-19 yang menurut CISDI masih jauh panggang dari api.

Kemampuan tes dan lacak kasus Indonesia belum memenuhi standar WHO meskipun jumlah kasus terus meningkat. Per 6 Oktober 2020, jumlah kasus di Indonesia mencapai 311.176 kasus dengan kematian mencapai 11.374 kasus atau 3,7 persen.

Dengan populasi sebesar 268.583.016 jiwa, pemeriksaan di Indonesia seharusnya mencapai minimal 268.583 orang per minggu atau 38.369 orang per hari agar memenuhi standar WHO, yaitu 1 tes setiap 1.000 orang per minggu.

Namun, agar bisa mengalahkan pandemi, dibutuhkan strategi tes dan lacak yang masif dan drastis. Sebagai contoh, Malaysia yang jumlah populasinya hanya sepersembilan dari populasi Indonesia, melakukan 30.000 tes per hari untuk berhasil mengalahkan pandemi.

Data Kawal Covid-19 menunjukkan bahwa dibutuhkan hingga 300.000 tes per hari untuk Indonesia mampu melandaikan kurva epidemi. Sayangnya, hingga saat ini rasio tes Indonesia masih jauh dari standar WHO, yaitu hanya 0,1 orang diperiksa berbanding 1.000 orang per minggu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI