Suara.com - Seorang perempuan asal Australia mengeluhkan sakit kepala terus menerus yang tak tertahankan dua hingga tiga kali sebulan sejak dia berusia 18 tahun.
Sakit kepala itu juga seringkali disertai dengan gangguan penglihatan. Obat penghilang rasa sakit biasanya akan meredakan sakitnya tetapi ini terus berlanjut. Kondisi itu membuatnya mencari pertolongan medis. Apalagi penglihatannya juga makin memburuk.
Dilansir dari Fox News, dokter dalam The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene mengungkap fakta mengerikan dari kasus tersebut. Menurutnya, ini disebabkan karena adanya larva cacing pita di otak perempuan tersebut.
Hal ini ditemukan, setelah dilakukan pemindaian MRI. Awalnya dokter mengira apa yang perempuan itu alami ialah abses otak atau tumor.

Tetapi ketika perempuan itu menjalani operasi untuk menghilangkan lesi otak, mereka menemukan penyebab mengejutkan di balik rasa sakitnya, yakni kista yang penuh dengan larva cacing pita.
Untungnya, setelah kista diangkat, perempuan yang bekerja sebagai barista dan dianggap berisiko rendah untuk jenis infeksi ini, tidak memerlukan perawatan lebih lanjut.
Ia merinci bahwa ini merupakan kasus asli atau kasus yang didapat secara lokal (neurocysticercosis), penyakit parasit yang terjadi setelah seseorang secara tidak sengaja menelan telur Taenia solium (cacing pita babi).
"Manusia terinfeksi setelah mengonsumsi makanan yang kurang matang, terutama daging babi, atau air yang terkontaminasi telur cacing pita, atau melalui praktik kebersihan yang buruk,” menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dilansir Fox News.
Mengingat, perempuan yang tidak disebutkan namanya, dalam laporan kasus, tidak pernah bepergian ke luar negeri pada saat dia didiagnosis.
Baca Juga: Kelelahan Jadi Gejala Pertama Covid-19, Kebanyakan Minum Boba Diamputasi?
"Kasus Australia yang dilaporkan (biasanya) terjadi pada imigran atau penduduk yang kembali, yang telah melakukan perjalanan ke daerah endemik. Kasus autochthonous telah dicatat di wilayah non endemik lainnya di dunia, termasuk laporan yang sering dirujuk dalam komunitas Yahudi ortodoks di New York City dan juga di negara-negara Timur Tengah, di mana konsumsi daging babi dilarang karena alasan agama," tulis para penulis.